Sejarah Bencana di Maluku dan Upaya Bangun Ketangguhan
Penjabat Negeri Samasuru di Kabupaten Maluku Tengah, Kres Waileruny, meminta orang-orang menceritakan kembali gempa dan tsunami yang disebut sebagai “bahaya seram”, bencana yang menenggelamkan kampung pada 29 September 1899.
“Ini sejarah yang harus dituturkan kepada seluruh anak negeri Samasuru sejak mereka kecil, sehingga mereka lebih siap menghadapi gempa dan tsunami, karena siklusnya terus berulang,” ujarnya.
Bencana yang oleh masyarakat setempat disebut “air bah” itu kembali terjadi pada 2006, tetapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa karena warga negeri tersebut langsung melakukan evakuasi secara mandiri, saat merasakan guncangan akibat gempa.
Gempa 2006 membuat bibir pantai Negeri Samasuru makin curam. Warga mengukur kedalamannya. Pada jarak tiga meter dari bibir pantai, kedalamannya mencapai 32 meter dan pada jarak sembilan meter dari pantai kedalamannya sampai 29 meter lebih.
Di negeri itu telah dibangun talud penahan ombak setinggi 1,5 meter sekira 10 meter dari bibir pantai. Talud itu menjadi penanda batas jangkauan tsunami yang pernah menenggelamkan negeri itu pada 1899.
Selain warga Negeri Samasuru, warga Negeri Amahai juga menuturkan kembali sejarah mengenai “bahaya seram” kepada generasi muda maupun para pendatang yang mengunjungi wilayahnya.
Di tepi pantai dekat Pelabuhan Amahai, tugu peringatan berisi relief yang menggambarkan dahsyatnya bencana itu didirikan. Permukiman warga Amahai saat ini berada sekitar 300 meter dari kampung lama mereka yang telah tenggelam.
“Budaya bertutur tentang sejarah ini terus diwariskan turun-temurun, sehingga setiap anak negeri mengetahuinya, sekaligus mengedukasi mereka tentang mitigasi bencana,” kata Raja Amahai Frederik Halattu.