Wisata Rempah Potensial Dikembangkan di Banten
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Kan sudah ada CHSE sehingga ada patokan dalam mengelola pariwisata dengan berbasis pada protokol kesehatan yang ketat. Apakah itu dengan penggunaan masker ataukah pengetesan hingga vaksinasi. Kita kan tidak tahu kapan COVID-19 ini pergi. Tapi kita bisa menerapkan langkah-langkah yang diharapkan mampu mengendalikan dan mencegah penularan,” tandasnya.
Peneliti Pariwisata dari BINUS University, Teguh Amor Patria, APar, PGDip, MPPar, menyatakan keberadaan rempah di Banten terbukti membawa pengaruh pada seluruh sendi kehidupan. Baik dari sektor ekonomi, toponomi, politis hingga budaya bangunan maupun budaya busana.
“Semuanya bisa dilihat dari data sejarah yang menceritakan tentang Kerajaan Banten Lama menjadi pusat perdagangan rempah dunia pada tahun 1808, pasca-jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Banten menjadi daerah kosmopolitan yang menjadi tempat pemukiman berbagai etnis,” kata Teguh dalam kesempatan yang sama.
Berbagai klaster muncul sebagai wujud perkembangan pemukiman. Contohnya Klaster Kebalen untuk orang yang berasal dari Bali dan Klaster Pekojan untuk orang yang berasal dari Timur Tengah.
“Tak hanya itu, berdasarkan literatur Arkeolog Titi Nastiti, rempah pun menjadi bagian dari diplomasi. Dimana lada digunakan sebagai mahar atas perjanjian atau penawaran yang dilakukan para sultan,” tuturnya.