Elite Syiah Diperkirakan Menangi Pemilu di Irak
Sadr pada Agustus mengatakan akan memboikot pemilu tersebut.
Perdana Menteri, Mustafa al-Kadhimi, yang dikenal luas bersahabat dengan Barat, melakukan pencoblosan tak lama setelah tempat pemungutan suara dibuka.
“Saya menyeru rakyat Irak, masih ada waktu. Datang dan pilihlah demi Irak dan pilihlah demi masa depan Anda,” kata dia di depan kamera TV.
Pemerintah Kadhimi mendesak pemilu digelar lebih awal sebagai respons atas tuntutan massa antipemerintah pada 2019, yang menjatuhkan pemerintahan sebelumnya.
Para pengunjuk rasa menuntut pekerjaan, pelayanan dasar, dan pengusiran kelompok elite yang dianggap korup dan membuat Irak sengsara, terlepas dari keberhasilan menjaga negara itu tetap aman sejak kekalahan ISIS pada 2017.
Para demonstran mendapat tindakan balasan secara brutal dari militer dan kelompok milisi yang membunuh sekitar 600 orang dalam beberapa bulan.
Para pejabat mengatakan undang-undang pemilu yang baru –sesuai tuntutan demonstran– akan membantu calon independen yang proreformasi, namun tetap akan bergantung pada perolehan suara.
Banyak warga Irak mengatakan mereka akan memboikot pemilu tersebut.
Mereka menganggap sistem demokrasi yang dibawa oleh AS merusak dan hanya melayani segelintir partai politik yang menguasai Irak sejak invasi AS pada 2003.
Invasi itu menyingkirkan Saddam Hussein yang beraliran Sunni dan membuat kekuasaan beralih ke tangan mayoritas Syiah dan suku Kurdi yang ditindas oleh pemerintahan Saddam.
Peristiwa itu juga membebaskan Irak dari kekerasan etnis yang brutal selama bertahun-tahun, termasuk perebutan sepertiga wilayah negara itu oleh kelompok ISIS pada 2014-2017.