Fit & Proper Test Calon Panglima TNI, “GIMMIK POLITIK YANG PERLU DIAKHIRI”
OLEH: BRIGJEN TNI (PURN) DRS. AZIZ AHMADI, M. SC.
HARI-HARI ini, DPR cengklungen. Begitu pula, rakyat yang diwakilinya. Layaknya, ngenteni thukule jamur ing mongso ketigo. Menunggu Surat Presiden (surpres), terkait pengajuan nama calon Panglima TNI, menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Patut & Layak
Setiap pergantian Panglima TNI, selalu menarik perhatian khalayak. Faktor daya tariknya bervariasi. Ada yang karena “siapa”, dan “kenapanya”. Tapi, ada juga karena “prosedur” dan “mekanismenya”.
Merujuk UU No. 34/2004, tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tertuang pada pasal 13, yang seluruhnya terdiri dari 10 ayat. Di sini diatur, ritual atau prosedur pergantian Panglima TNI.
Ayat (2) berbunyi : “Panglima diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR”. Terhadap ayat (2) ini, diberi penjelasan sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak”.
Namun kenyataannya, berbeda. Antara kehendak pada penjelasan dengan praktiknya, tidak sejalan. DPR, tidak menjalankan apa yang tertuang dalam penjelasan ayat (2) tersebut.
Sebaliknya, DPR justru terjebak dalam malpraktik sendiri. Sejauh ini, DPR melampaui dan menyimpang dari spirit dan substansi penjelasan ayat (2) dimaksud. DPR, dengan sengaja, “keliru berkreasi.” Melakukan gimmik politik, dengan apa yang disebut, “uji kepatutan dan kelayakan” (fit & proper test), terhadap calon Panglima TNI.
Di bawah rezim UU No. 34/2004, sudah 6 (enam) dan akan 7 (tujuh) – calon Panglima TNI yang menjadi “korban” salah tafsir, terhadap ayat (2), pasal 13, beserta penjelasannya, itu.