Fit & Proper Test Calon Panglima TNI, “GIMMIK POLITIK YANG PERLU DIAKHIRI”
OLEH: BRIGJEN TNI (PURN) DRS. AZIZ AHMADI, M. SC.
Korban pertama, adalah, Marsekal TNI Djoko Suyanto. Acting Kepala Staf TNI AU (KSAU) saat itu. Alhamdulillah, Marsekal Djoko Suyanto dinyatakan lolos oleh Komisi I/DPR RI, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Panglima TNI ke 16, terhitung mulai tanggal, 13 Februari 2006 s/d 28 Desember 2007.
Prerogratif Presiden
Kini tiba saatnya, mengakhiri ayat (2), pasal 13, UU No. 34/2004, tersebut. Artinya, Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI, “tidak perlu meminta persetujuan DPR lagi”. Sekaligus “mengakhiri mekanisme uji kepatutan dan kelayakan”, terhadap calon Panglima TNI.
Poinnya, prosedur pergantian Panglima TNI, “kembalikan dan percayakan sepenuhnya kepada hak prerogratif Presiden”, selaku pemegang kekuasaan tertinggi (PKT) atas TNI AD, TNI AL, dan TNI AU.
Kenapa perlu diakhiri? Pertama, mekanisme fit & proper test (terhadap calon Panglima TNI), tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas. Kedua, bersifat paradoks dengan spirit dan substansi penjelasan Ayat (2), pasal 13, UU No. 34/2004, itu sendiri. Ketiga, uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Panglima TNI, hanyalah kreasi atau gimmik politik, yang kurang substantif. Keempat, – ini yang terpenting – mengandung berbagai risiko dan implikasi, yang amat merugikan TNI.
Risiko & Implikasi
Adapun risiko & implikasi negatif, yang harus dihindari, adalah sebagai berikut:
Pertama, Membelah Kesatuan Komando & Loyalitas Tegak Lurus TNI.
Itulah, ruh dan sendi utama organisasi militer. Namun, dengan dilibatkannya DPR cawe-cawe menentukan calon Panglima TNI, berarti membelah kesatuan komando dan loyalitas tegak lurus TNI.