Mayjen Soeharto & Pembebasan Presiden Soekarno dari Pelaku G30S/PKI
Sikap itu (penundaan perintah harian) diambil untuk memastikan keselamatan Presiden dan perwira TNI dari kemungkinan penyanderaan atau eksekusi komplotan G30S/PKI, sebagaimana dialami para jenderal yang telah diculik dan dibunuh pada pagi harinya. Oleh karena itu, ia mengkonfirmasikan akan segera menyerang Halim untuk membebaskan Halim dari komplotan G30S/PKI dan oleh karenanya Presiden sebaiknya tidak berada di Halim.
Tanpa menunjukkan sikap melawan Presiden, Mayjen Soeharto menyatakan kesiapannya menunggu perintah. Melalui Tjokropranolo, ia juga mengirim pesan kepada Brigjen Sabur (komandan Resimen Cakrabirawa/Pasukan Pengamanan Presiden), agar membawa Presiden dalam perlindungannya menuju Bogor.
Setelah melalui tarik ulur —Omar Dhani dan Supardjo mendesak Presiden menggunakan pesawat menuju Yogya atau Madiun sesuai keputusan rapat darurat PKI, sedangkan Brigjen Sabur, Waperdam Leimena, Bambang Widjanarko dan Nyonya Dewi meyakinkan sekaligus mempersiapkan keberangkatan Presiden menuju Bogor — pada pukul 11.30 WIB, Presiden memenuhi permintaan Mayjen Soeharto meninggalkan Halim menuju Bogor. Sebelum berangkat, Saelan atau pengawal Presiden mengirim kurir ke Kostrad bahwa Presiden menuju Bogor.
Ketika dalam perjalanan, Presiden terlihat gusar dan menanyakan kenapa harus ke Bogor dan tidak menggunakan pesawat. Bambang Widjanarko menjelaskan ada tiga alasan membawa Presiden ke Bogor. Pertama, Pangkalan Udara Halim akan segera dibebaskan dan jangan sampai Presiden berada di tengah-tengan pertempuran. Kedua, Bogor tidak jauh dari Jakarta sehingga sewaktu-waktu dapat bergerak menguasai situasi. Ketiga, sangat berisiko meninggalkan Halim dengan pesawat yang hanya dikendalikan seorang pilot yang loyalitasnya belum diketahui secara pasti.