Pandemi, Pengembangan Pertanian Hidroponik Cukup Prospektif
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Lahan yang digunakan untuk bertani sistem hidroponik adalah milik jemaah dengan luas sekira 1000 meter persegi. Saat ini ada 6000 lubang hidroponik yang ditanami aneka sayuran seperti pakcoy, bayam, selada aneka jenis dan lainnya.
Omzetnya pun sebulan terbilang lumayan besar, jika dirata-rata bisa mencapai Rp15 jutaan. Tapi itu paling kecil karena terkadang bisa mencapai Rp25 jutaan selama setahun lebih mengelola sistem hidroponik ini.
“Budidaya ini dikelola oleh santri di Miftahul Jannah Kranggan. Semua anak muda, sebagai salah satu edukasi agar mereka juga mencintai pertanian,” ungkap Mang Ndon.
Produk pertanian memang masih menjanjikan sebenarnya, meskipun sangat sedikit yang melirik. Hal itu karena tidak ada kepastian terkait harga. Melalui sistem hidroponik pasarnya pun berbeda, terutama di kalangan kompleks perumahan, atau pasar segar seperti supermarket.
“Petani masih menjanjikan peluang untuk bertani asal serius mencari pasar, meskipun kendala petani hidroponik adalah pasar. Jika tidak ke pengepul ke user langsung, ke perumahan atau ibu-ibu PKK dan kelompok RT/RW. Intinya yang paham kualitas tanaman hidroponik, karena harganya pun berbeda,” tukasnya.
Diketahui, tahun lalu tren budidaya hidroponik di Kota Bekasi selalu digembar-gemborkan oleh pemerintah setempat. Tapi sekarang tren tersebut sepertinya mulai bergeser, banyak dari mereka beralih dan hanya tempat tertentu saja yang terus bertahan, salah satunya seperti Rumah Hidroponik di Jatisari.
“Memang produk pertanian ini memerlukan keseriusan dan menjiwai, tidak hanya ikut-ikutan. Tahun lalu kan tren soal hidroponik, tapi sekarang banyak lubang yang kosong dan ditinggalkan begitu saja,” ungkap Edi, pegiat pertanian urban di wilayah Jatimurni.