Kakekku pernah bercerita kepadaku bahwa pohon beringin di ujung desa yang sudah begitu tua dan tinggi itu pernah menyelamatkanku ketika ibuku berusaha melahirkanku.
Pada awalnya, aku tidak percaya kepada kakekku. Untuk membuktikannya, aku sengaja memotong salah satu akarnya dengan sebuah pisau.
Saat itu juga, ada sebuah bekas sayatan di kakiku. Mengetahui bahwa aku menyakiti pohon itu—yang berarti menyakiti diriku sendiri—kakek marah besar kepadaku.
Dia mencaciku sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih. Seminggu kemudian, setelah memarahiku dengan hebat, dia tutup usia. Aku sangat bersalah kepadanya.
Sebagai penebusan dosa, aku tidak akan pernah menyakiti pohon-pohon lagi, terutama pohon yang ada di ujung desa itu.
Ketika ibuku berusaha untuk melahirkanku di sebuah klinik di desa, kakekku bercerita bahwa aku tidak bisa keluar. Sesuatu sepertinya sedang menghalangiku untuk melihat dunia yang indah sekaligus kejam ini.
Saat itulah, kakekku melihat sesosok laki-laki yang bercahaya di sekitar pohon itu. Karena tidak bisa berpikir jernih, kakek pun segera pergi ke sana.
“Jadi, kau bisa melihatku?” kata sosok bercahaya itu.
“Siapa sebenarnya kisanak ini?”
“Aku adalah pohon beringin ini. Aku adalah ruh pohon beringin ini yang kebetulan ingin berjalan-jalan sebentar tapi sepertinya telah kau pergoki.”
“Apa kisanak akan menghabisiku?”
“Tidak. Tapi, ngomong-ngomong, kau terlihat kesusahan, Kakek. Ada apa?”
“Aku bermaksud membakar dupa untuk para leluhur. Aku minta doa restu dari mereka agar berkenan memohonkan kepada Tuhan untuk keselamatan putriku yang sekarang sedang berusaha melahirkan anak pertamanya.”