Upacara Adat di Desa Saya
CERPEN ARIS KURNIAWAN
Teman-teman saya syok, muntah-muntah, lalu pingsan. Beberapa menit kemudian mereka sadar, dan muntah-muntah lagi, setelah itu pingsan lagi.
Mereka mengalami trauma yang mendalam. Tampang mereka tampak menyedihkan. Wajah keduanya sepucat kapas. Keringat dingin mengucur deras membuat basah baju yang mereka kenakan.
Kesombongannya tumpas sama sekali ditindas kengerian yang sangat menekan seperti kerupuk disiram air.
Ketika sadar untuk kesekalian kali, dengan lemah dan tubuh mulai diserang demam mereka meminta saya membawanya keluar dari desa saya.
“Tetua desa saya tak akan mengizinkan kalian keluar dari desa kami,” kata saya.
Mata mereka menatap saya dengan pandangan memohon. Dengan bimbang saya meninggalkan keduanya di kamar. Tapi pada saat yang saya juga merasa puas. Saya kembali ke lapangan membersihkan sisa bekas upacara adat.
Mereka baru pertama kali berkunjung ke desa saya untuk menghabiskan waktu libur kuliahnya sekalian menyaksikan upacara adat di desa saya. Mereka pikir nyali mereka kuat melihat tubuh orangtua itu melayang jatuh dari puncak bukit, lalu remuk di atas altar batu.
Desa saya berada di antara perbukitan, perbatasan antara dua kabupaten. Ada jalan beraspal yang mulus dan lebar yang membelah perbukitan. Jalan aspal itu disangga jembatan beton yang tebal melintasi sungai besar dan curam yang mengalir di celah bukit.
Di salah satu puncak bukit terdapat patung pahlawan. Guru-guru sekolah dasar kerap membawa murid-murid mereka ke sana untuk berwisata. Di seputar patung terdapat tanah lapang yang cukup landai.
Dari sana mereka dapat melihat pemandangan lereng perbukitan yang hijau lebat penuh pohon-pohon. Di dataran yang cukup landai itu biasanya anak-anak muda biasa menggelar perkemahan. Ke sanalah warga desa saya menawarkan berbagai jasa, mulai dari pijat, tikar, hingga makanan dan minuman.