Gadis dengan Setangkai Mawar

CERPEN AULIA NAILUL MUNA

Kota tempatku pindah ini jauh dari kata indah. Membosankan? Iya. Tidak punya tempat menyenangkan? Iya.

Rupanya suram? Iya. Entah ke mana kaburnya pajak rakyat sampai banyak fasilitas yang dibiarkan tak terawat begini. Meski begitu, agak masuk akal kalau kota kecil di pinggiran yang jauh dari kota besar seperti ini tidak tumbuh sebaik kota lamaku.

“Eva, pergi jalan-jalan keliling kota sana, gih,” kata Ibu tiba-tiba.

Aku melepas headphone yang kukenakan dan mengernyit kepadanya, “Sendirian, nih?”

“Tentu saja,” jawab Ibu, “Ibu sekarang sedang menyelesaikan pekerjaan. Lagian, kau selalu di rumah semenjak kita pindah rumah.”

“’Selalu’?” aku mengutip kata-kata Ibu dengan muka mengerut kemudian mengerling, “Oh, ayolah. Kita baru pindah kemarin.”

“Berhenti membantah dan cepat keluar, sana!” usir Ibu dengan nada tinggi.

“Iya-iya,” dengan malas aku beranjak dari kursi dan meninggalkan rumah.
Di kota yang sepi ini, tidak siang, tidak malam, suasananya kering dan cuma bikin gerah. Mungkin karena kami pindahnya di waktu kemarau, ya.

Satu-satunya sepeda motor yang dimiliki keluargaku dibawa kakakku bekerja di kota lain, sementara mobil kami dibawa Ayah bekerja. Aku pun memutuskan untuk pergi dengan sepeda dan mengayuhnya dengan enggan mengelilingi daerah itu.

Topi yang kukenakan tidak banyak membantuku dari mencegah panasnya matahari membakar kulitku. Aku mulai menggerakkan sepedaku lebih cepat sembari melirik ke kanan-kiri, berusaha menemukan tempat yang pas untuk berteduh. Sampai akhirnya aku tiba di daerah paling ujung yang mulai jarang pemukiman.

Di sana, ada sebuah stasiun kereta tua yang membuatku tertarik. Sama matinya dengan bangunan sebelumnya yang sudah kulewati, catnya mulai mengelupas dan debu menumpuk di mana-mana.

Lihat juga...