Paginya, bersama-sama, kami pergi ke rumah duka. Kubawa jaket yang pernah dipinjamkannya padaku. Rumah duka itu tidak terlalu ramai.
Kami, sebagai teman sekelasnya, mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mengenang kebersamaan kami. Begitu pula dengan diriku, kulihat dirinya di dalam peti, kaku dan pucat, masih tampak seberkas lubang kecil di kepalanya yang disumpal sedemikian rupa agar tertutup.
Sekali lagi, air mataku tidak dapat ditahan lagi. Maka menangislah kami semua, bertiga belas, layaknya anak kecil. Kami mengenang memori kebersamaan kami yang sangat berharga.
Aku ingat saat kami berjalan-jalan ke pantai. Ia begitu girangnya ketika sampai di sana. Ia merengek-rengek untuk berenang. Dan tentu saja, kami cegah ia karena hal tersebut sangat berbahaya di pantai itu. Aku ingat senyumannya yang mengekspresikan betapa bahagianya ia saat itu.
“Saya turut berduka,” demikian ujar teman-temanku.
“Yah, mau bagaimana lagi, sudah kejadian, tidak ada yang dapat mengubah takdir,” balasku.
“Apa yang terjadi berikutnya?”
“Saya kembalikan jaket pemberiannya. Saya masukkan ke dalam peti, tepat di samping kaki kanannya.”
Aku tahu, masih banyak peristiwa setelahnya, seperti kehadiran wartawan dan kamera besarnya, lalu prosesi pemakamannya, dan lain sebagainya, yang menurutku tidak terlalu penting untuk diceritakan. Sebab yang terpenting dari segalanya hanyalah kehadirannya, bersama kami, di kelas ini.
Ah, dengan cepat kuhentikan lamunanku. Kembali aku tatap mata tamu yang duduk berhadapan denganku itu. Matanya berkaca-kaca dan dengan malu-malu meneteskan air mata. Ia pun menatapku dengan mata sembabnya itu.