Pohon Belimbing
CERPEN MOCHAMAD BAYU ARI SASMITA
Sebagai seorang bocah, semakin dilarang semakin tertarik pula aku untuk melakukannya. Siang hari, ketika pulang sekolah, aku berbohong kepada ibuku bahwa aku pergi main ke rumah teman-temanku. Tapi, sebenarnya aku pergi ke rumah kompeni itu.
Rumah itu dikelilingi tembok yang sulit untuk diraih oleh bocah kelas enam SD sepertiku dan sebuah pagar di bagian depan yang digembok rantai.
Tapi, seperti peribahasa, tidak ada gading yang tak retak. Di salah satu sisi tembok yang mengelilingi rumah kompeni itu terdapat bagian yang sudah hancur, meski tidak sepenuhnya. Dengan sedikit hati-hati, aku bisa melewati tembok itu dan masuk ke pelataran rumah kompeni.
Tidak semenakutkan yang diceritakan banyak orang. Itulah kesan pertamaku ketika memasuki pekarangan itu. Rumah itu berdiri kokoh dan teguh.
Genting, pintu, dan jendelanya masih utuh. Satu-satunya kekurangannya, mungkin, hanyalah banyaknya debu dan cat yang sudah kusam. Dari pengalaman itu, aku belajar satu hal yang begitu penting: sesuatu terdengar seram hanya dari cerita-cerita yang dibawa orang saja.
Daripada merasa takut berada di tempat itu, aku malah merasakan semacam kedamaian. Angin bertiup pelan, burung-burung bersiul di atas pepohonan, sebuah kedamaian yang sulit kutemukan di luar sana.
Setelah berjalan mengelilingi tempat itu, aku akhirnya berhenti pada sebuah pohon belimbing. Aku mencari kayu dan menyodok buah belimbing di atas sana.
Begitu jatuh, kupungut buah itu, kubersihkan dengan kausku, dan memakannya. Tenggorokanku rasanya begitu merindukan rasa segar dari belimbing itu.
Setelah habis, aku membuang bagian tengah belimbing itu secara sembarangan. Kulemparkan ke kejauhan dan sisa buah belimbing itu mendarat di tanah begitu saja.