Karno bangkit dari duduknya, kemudian melangkah mendekatimu. Kau mendengar penjelasan Karno bahwa kehadiran orang-orang itu amat penting demi tercapainya kemerdekaan. Karno mengaku ia tak akan sanggup menyelesaikan perjuangan jika hanya bersama Bardjo dan Hatta.
Penjelasan Karno rupanya cukup menggetarkan jiwamu. Maka dengan penuh kepercayaan, kau mempersilakan mereka tinggal untuk kemudian mempersiapkan apa pun yang dirasa perlu. Dan karena tak ingin mengganggu, kau memutuskan naik ke lantai dua, istirahat di kamarmu.
Belum genap tiga puluh menit kau membaringkan tubuh di ranjang, suara ribut mencuat dari lantai bawah. Dengan seksama kau tajamkan pendengaran untuk menangkap apa yang tengah dirundingkan tamu-tamumu itu.
“Kita harus waspada!”
“Betul. Bisa saja kita sedang dijebak. Maeda tetaplah orang Jepang.”
“Bukan begitu…”
“Diam!”
“Sebentar, Bung…”
Kau tercekat mendengarnya. Bahkan ketika niatmu benar-benar tulus, ternyata ada saja orang yang tak suka. Maka dengan maksud untuk meluruskan semua itu, gegas kau turun menemui mereka.
“Saya tak ingin berbuat hina,” ucapmu, seraya satu per satu kakimu turun menapaki anak tangga.
“Ada pun jika di antara tuan-tuan menganggap saya mata-mata, itu salah besar!”
Kau menerangkan perihal prinsipmu dengan teramat lugas. Bahwa kau mencintai Indonesia sebagai bangsa rumpun Asia. Lebih dari itu, sesungguhnya kau juga peduli terhadap hak manusia untuk hidup bebas dari pengekangan.
Kau pun kembali meratapi nasib rakyat Hiroshima dan Nagasaki yang lebur menjadi tanah, debu, api, dan darah. Dan kehancuran itu membuat hatimu begitu nelangsa.
Kini kau menatap satu demi satu pasang mata yang mendadak disergap hening. Namun tak lama, kau melihat Karno mengambil sikap.