Bukit Anggrek

CERPEN S. PRASETYO UTOMO

TAK pernah dipikirkan Dewi Uma bila ia mesti mengajar di kampus yang berdiri megah di atas bukit. Masih pagi, kampus tampak tenteram, rimbun pohon-pohon jati.

Memasuki pelataran rektorat, ia terkesima dengan aneka warna anggrek bermekaran, bergelantungan di dahan-dahan pohon jambu air, berjajar sepanjang rak bunga.

Ia sangat mengenali bunga-bunga anggrek itu persis sama seperti yang berjajar di rak bunga dalam green house Pak Jo. Apakah anggrek di sepanjang pelataran rektorat ini juga dibeli dari Pak Jo?

Kini Dewi Uma mulai paham, kenapa orang menyebut kampus ini sebagai Bukit Anggrek. Dengan langkah bimbang, Dewi Uma membayangkan wajah rektor yang akan ditemuinya. Apakah ia seorang pecinta bunga anggrek?

Bertemu dengan rektor, Dewi Uma tak pernah menduga bila lelaki setengah baya itu menerimanya dengan ramah. Tatapan matanya bulat, bening, dan menyihir siapa pun yang memandangnya.

Menakjubkan. Dewi Uma terkesima. Lengkung tebal hitam alisnya mengesankan rektor memiliki kemauan kuat dan tak terbantah.

“Selamat datang di kampus ini,” kata rektor dengan senyumnya yang menambat perasaan Dewi Uma. “Aku mengundangmu untuk menyampaikan pesan. Semoga kau kerasan mengajar di kampus ini, dan tak kembali nyanyi di kelab malam.”

Tercengang, Dewi Uma tak pernah menduga bila rektor memahami masa lalu kehidupannya sebagai penyanyi kelab malam. Ia seorang magister seni musik yang selama ini memilih kebebasan hidup dengan menyanyi kelab malam. Lalu, apa lagi yang diketahui rektor tentang hidupku?

Tak ada pembicaraan yang penting dengan rektor. Dewi Uma mulai curiga, kenapa rektor mengundang ke ruangannya? Ia lebih banyak bicara basa-basi.

Lihat juga...