Demonstran di Halaman Parlemen Selandia Baru Terus Bertambah
WELLINGTON – Sudah empat hari halaman gedung parlemen Selandia Baru diduduki para demonstran, dan jumlah mereka makin banyak.
Para demonstran menuntut pemerintah untuk mencabut mandat vaksin dan pembatasan COVID-19 yang ketat.
Mereka menolak mengakhiri demonstrasi, meskipun sejumlah orang telah ditangkap.
Demonstrasi berlangsung sejak beberapa ribu orang, yang terinspirasi oleh aksi serupa di Kanada, menduduki halaman gedung parlemen di Ibu Kota Wellington.
Mereka memblokade jalan-jalan di sekitar gedung itu dengan truk, mobil, karavan, dan sepeda motor.
Pada Kamis (10/2), polisi menangkap 120 orang saat mereka berusaha membubarkan secara paksa para demonstran.
Pembubaran itu kemudian gagal karena para pengunjuk rasa menolak untuk dipindahkan.
Lewat pernyataan, kepolisian mengatakan pada Jumat, bahwa tidak ada insiden penting semalam di halaman parlemen, meskipun dua orang lagi ditahan karena “perilaku terkait alkohol”.
“Polisi terus melakukan pendekatan terukur kepada para pemrotes, yang menerobos ke halaman Parlemen, dan telah berkali-kali diminta untuk pergi,” kata Inspektur Corrie Parnell dalam pernyataan tersebut.
Ada banyak penyebab dan motivasi di kalangan pengunjuk rasa, sehingga sulit menjalin komunikasi yang jelas dan berarti, kata kepolisian.
Lembaga penegak hukum itu menambahkan, bahwa misinformasi, terutama di media sosial, telah menjadi persoalan.
Banyak tenda dan bahkan sebuah gazebo didirikan di halaman parlemen, ketika lebih banyak pengunjuk rasa datang dari berbagai daerah pada Jumat.
Namun, mereka tampak lebih tenang, bernyanyi dan menari, tidak seperti yang terlihat pada Kamis ketika banyak demonstran mengungkapkan kemarahan.
“Sekarang lebih mirip festival di sini,” kata salah satu penyelenggara aksi lewat pengeras suara.
“Apakah ada yang melihat gerombolan (pengacau) di sini?”
Sejumlah kecil demonstran juga dilaporkan telah berkumpul di kota-kota lain seperti Nelson dan Christchurch sebagai bentuk solidaritas.
Para pengunjuk rasa mengabaikan seruan Perdana Menteri Jacinda Ardern untuk “move on”.
Aksi yang terus berlanjut menambah tekanan politik pada Ardern, yang popularitasnya mencapai titik terendah dalam jajak-jajak pendapat.
Terlepas dari pujian yang diraihnya karena berhasil menjaga negara itu hampir bebas virus corona dalam dua tahun terakhir, pembatasan ketat yang masih diterapkan tidak lagi menjadi tindakan populer di mata publik. (Ant)