Dinilai Cederai Demokrasi, Pasal Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Oleh Mendagri, Digugat
Editor: Koko Triarko
JAKARTA – Pengangkatan penjabat kepala daerah seperti Gubernur, Bupati, Wali Kota sesuai amanat Undang-undang (UU) nomor 10 tahun 2016 dianggap telah mencederai demokrasi.
Keputusan tersebut digugat oleh sejumlah warga negara Indonesia dengan melakukan permohonan judicial review terkait pasal 201 ayat 10, dan pasal 201 ayat 11 UU Nomor 10 tahun 2016.
Dalam pasal tersebut, menyebutkan bahwa terkait kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023, maka akan diganti dengan penjabat eselon 1 untuk tingkat Gubernur dan Eselon 2 untuk level Bupati dan Wali Kota, dengan cara ditunjuk langsung oleh pemerintah.
“Artinya penjabat ini bukan yang pernah dipilih oleh rakyat. Tetapi dari ASN, kami melihat hal tersebut mencederai hak demokrasi, mengambil hak pemohon sebagai pemilih jika hal itu dilaksanakan,” kata DR. Sulistyowati, SH, MH, Kuasa Hukum Para Pemohon, dalam konferensi pers di depan Gedung Mahakamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/2/2022).
Atas hal tersebut, lanjut Sulistryowati, sebagai alasan pemohon melakukan pengujian UU atau judicial review terhadap pasal tersebut agar tak mencederai demokrasi yang mengambil hak pemohon sebagai pemilih.
“Seandainya pun harus dilakukan dan memang harus dilakukan pilkada serentak 2024 alangkah baiknya tidak langsung menciderai atau menghilangkan hak dari pemohon, sehingga kita meminta sesuatu dalam petitum kita meminta untuk tetap dilangsungkan atau diperpanjang masa jabatan untuk gubernur, wali kota atau bupati sampai penyelenggaraan pemilukada 2024,” tukasnya.
Permohonan tersebut demi kepentingan masyarakat, yang mengharapkan bisa ada pemimpin yang membawa kemajuan signifikan dan kesejahteraan.