PM Libya Janjikan UU Pemilihan Baru Atasi Krisis Politik
CAIRO – Perdana Menteri Libya, Abdulhamid al-Dbeibah, berjanji untuk menyusun undang-undang pemilihan baru untuk mengatasi krisis politik di negara Afrika Utara itu.
Sehari setelah selamat dari dugaan percobaan pembunuhan, al-Dbeibah kepada TV Libya Al Ahrar mengatakan, rancangan undang-undang (RUU) akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian diserahkan kepada dewan kepresidenan untuk diratifikasi.
Libya seharusnya menggelar pemilihan presiden dan parlemen pada Desember 2021, tetapi pertentangan antara faksi-faksi dan badan negara –terkait bagaimana kedua pemilihan itu seharusnya dilaksanakan– menyebabkan pilpres itu gagal diselenggarakan.
Hampir tiga juta warga Libya mendaftar untuk memberikan suara pada pemilihan Desember, dan desakan politik serta penundaan yang menyertainya telah menyulut kemarahan banyak orang.
Pembunuh Bayaran
Wawancara itu berlangsung setelah upaya pembunuhan terjadi pada Kamis (10/2). Al-Dbeibah mengatakan, ia lolos tanpa cedera dari upaya tersebut.
Al-Dbeibah mengatakan, dua tentara bayaran disewa untuk membunuhnya, tetapi dia tidak merinci terkait siapa di balik dugaan penyerangan itu.
Reuters tidak dapat memverifikasi keterangan itu secara independen atau berbicara dengan saksi.
Keretakan politik Libya makin parah setelah juru bicara parlemen pada Kamis menyatakan Fathi Bashagha sebagai perdana menteri sementara, langkah yang ditolak al-Dbeibah.
“Pemilihan Parlemen untuk pemerintahan baru adalah upaya lain dari memasuki Tripoli secara paksa,” kata al-Dbeibah dalam wawancara itu.
Dia mengatakan, langkah parlemen sama dengan apa yang terjadi pada 2019 saat komandan timur Tentara Nasional Libya (LNA) Khalifa Haftar dan pasukannya menyerang Tripoli.