Kematian Badar bukan hanya mengagetkanku, melainkan juga seluruh warga desa. Apa yang kami takutkan benar-benar terjadi.
Kematiannya bukan semata karma, tapi bisa dikatakan sebagai takdir yang tak dapat dihindari, karena melanggar pantangan yang telah dipercaya warga desa.
Apa yang menimpa Badar adalah tanda bahwa mitos yang tumbuh di tengah kehidupan warga bukan semata mitos, namun sungguh nyata adanya.
Ia ditemukan tergeletak tepat di muka pintu rumahnya. Sejengkal lagi sudah melewati batas pintu. Namun, ia belum sempat masuk ke dalam rumah dan nyawanya telah melayang.
Tubuhnya pucat dan ringan. Begitu kesaksian warga yang membantu menggotong tubuh Badar yang seakan menyusut dari waktu ke waktu.
Sebelumnya, warga desa mengatakan Badar sangat sering wira-wiri ketika waktu hampir magrib tiba. Ia menggeber motornya dari rumah menuju entah, tak hanya sekali dua kali, namun berkali-kali.
Beberapa orang telah memperingatkannya: apa yang ia lakukan tak baik. Pamali dilakukan karena waktunya yang tak tepat. Waktu menjelang magrib sudah sepantasnya bagi tiap orang untuk berada di dalam rumah.
Minimal berhenti melakukan aktivitas dan rehat barang sejenak. Karena pada waktu inilah saat di mana Batara Kala turun untuk mencari mangsa demi kekenyangan perutnya.
Beduk telah ditabuh. Surup tiba. Barang siapa tak masuk rumah, maka ia akan menanggung akibatnya.
Apa yang dilakukan Badar bukan semata berani.
Apa yang diperbuatnya bahkan bisa dikatakan ngawur. Ia seolah tak peduli ketika matahari lindap ditelan malam. Ia tak menghiraukan waktu surup. Entah apa yang ada di kepalanya.
Semua orang tahu bahwa surup adalah waktu di mana Batara Kala datang dan akan hinggap ke tubuh, menetap, dan dengan perlahan menyesap darah mereka yang masih berkeliaran ketika matahari terbenam. Surup ialah saat di mana cahaya sore perlahan meremang dan berubah gelap.