Mimpi yang Teramputasi

CERPEN DICKY PRANAYA

Anak laki laki yang baru berusia genap 12 tahun itu duduk tepat di belakang sopir angkot berwarna putih. Wajahnya tampak murung tapi hatinya membersitkan harapan. Waktu menunjukkan pukul 16:00 WIB. Entah mau pergi ke mana anak laki-laki itu.

Ranu Fradisa, demikian nama anak laki-laki tersebut. Di lingkungan tempat tinggalnya, baik di rumah atau pun di sekolah ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan berprestasi.

Dari kelas 1 SD sampai lulus SD selalu meraih rangking pertama. Bahkan saat pengumuman kelulusan seminggu yang lalu ia mendapat NEM tertinggi.

Tidak hanya itu saat duduk di bangku kelas 5 SD ia terpilih mewakili sekolahnya dalam lomba bidang studi Ilmu Pengetahuan Umum tingkat Sekolah Dasar sekota Bogor dan ia berhasil meraih juara ke-2.

Anak cerdas dan berprestasi. Begitulah guru-guru dan teman-teman di sekolahnya menjulukinya. Ranu tidak hanya cerdas di setiap mata pelajaran tetapi ia juga pintar menulis cerita dan puisi.

Ia juga dikenal sebagai anak yang periang, supel dan mudah bergaul. Walaupun kehidupannya sangat sederhana bahkan jarang sekali ia mendapat uang jajan karena ibunya hanya seorang janda dan bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Tetapi tidak membuatnya menjadi anak yang minder. Ranu justru tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan periang.

Namun sudah seminggu terakhir ini Ranu berubah jadi pemurung. Hal itu disebabkan setelah pengumuman kelulusan. Ranu mendapat NEM tertinggi. Itu artinya ia akan diterima mendaftar di SMPN favorit yang ada di daerahnya.

Ranu memang bercita-cita setelah lulus sekolah dasar bisa bersekolah di SMP negeri favorit di daerahnya. Itu sebabnya saat baru naik kelas 6 Ranu begitu giat belajar dengan harapan bisa meraih NEM tertinggi agar diterima di SMPN favorit tersebut.

Lihat juga...