Mimpi yang Teramputasi

CERPEN DICKY PRANAYA

Ranu merasakan sepasang matanya memanas. Sebelum air matanya tumpah membasahi pipi Ranu langsung melangkah masuk ke dalam kamarnya yang sempit dan berdinding anyaman bambu. Di dalam kamar Ranu tak bisa menahan lagi tangisnya.

“Ahh betapa tidak enaknya jadi orang miskin!” Batinnya sedih. Seandainya saja ia memiliki orang tua yang masih utuh dan ayah kandungnya tidak bercerai dengan ibunya tentu nasibnya tidak seperti ini. Tentu ia bisa melanjutkan sekolah tanpa harus berdebat dengan ibu, kakek atau pun neneknya.

Teringat dengan ayahnya terbersit pula keinginan untuk bertemu dengan ayah kandungnya. Kenapa tidak meminta bantuan kepada ayahnya saja untuk membiayai sekolahnya?

Bukankah tanggung jawab seorang ayah untuk menafkahi dan memenuhi segala kebutuhan anaknya? Ranu ingat ayah dan ibunya berpisah ketika ia duduk di kelas 3 SD. Sampai sekarang ia tidak tahu apa penyebab ayah dan ibunya berpisah.

Ibunya tidak pernah menceritakan hal itu kepadanya karena Ranu masih terlalu kecil untuk mengetahui hal tersebut. Yang Ranu tahu dari ibunya, ayahnya sekarang sudah menikah lagi dan tinggal di Jalan Musyawarah, Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan.

Ranu bertekad akan mendatangi rumah ayah dan istri barunya. Berharap ayahnya mau membiayai sekolahnya kelak. Meskipun Ranu sendiri tidak tahu dan belum pernah datang ke alamat tersebut. Berbekal uang celengannya yang tidak seberapa, sore ini Ranu mendatangi rumah ayah kandungnya yang sudah 3 tahun tak pernah berjumpa dengannya lagi.

Suara sopir angkot yang menyebut Jalan Musyawarah menyadarkan Ranu dari lamunan. Tadi ia memang meminta pada sopir angkot tersebut agar diturunkan di Jalan Musyawarah sesuai dengan alamat rumah ayahnya yang sudah dicatatnya. Setelah menerima uang kembalian dari sang sopir angkot, Ranu melangkah pelan-pelan menyusuri Jalan Musyawarah yang kondisi jalannya tidak terlalu mulus maupun berlubang.

Lihat juga...