Mimpi yang Teramputasi

CERPEN DICKY PRANAYA

“Sudahlah lebih baik kamu pulang saja dan jangan datang lagi ke sini!” ringan dan tanpa beban Pak Nadi mengucapkan kata-kata itu. Lalu mengajak istrinya masuk ke dalam dan menutup pintu.

Membiarkan Ranu sendirian di luar. Mata Ranu merebak panas dan bersamaan suara gelegar petir tumpah pulalah air mata yang sejak tadi ditahannya. Hancur dan pupuslah harapannya bisa melanjutkan sekolah.

Ranu duduk termenung di jendela kamarnya yang ia biarkan terbuka. Membiarkan angin malam berhembus menerpa wajahnya, Menatap bintang gemintang dan bulan sabit yang menggantung di atas sana.

Selama seminggu ini ia berharap keajaiban datang menyapa dirinya. Mengubah pikiran ibu, kakek dan neneknya agar mau mendaftarkannya ke SMP negeri favorit yang ada di daerahnya.

Ranu juga teringat akan nasehat dari ustaz Kamal gurunya, bahwa keajaiban dari Allah itu selalu ada bagi hamba-hamba-Nya yang mau bersabar.

Karena itulah akhir-akhir ini Ranu rajin bangun tengah malam, melaksanakan salat hajat maupun tahajud. Berdoa dan bermunajat kepada-Nya agar keinginannya melanjutkan sekolah ke SMP terkabul.

Tetapi harapan itu sepertinya tinggal harapan. Keajaiban itu tak pernah datang. Besok sekolah akan dimulai kembali. Tadi siang Ranu bertemu dengan Asep, Febry dan Toni. Besok pagi mereka akan melakukan MOS di sekolah SMP tempat mereka mendaftar.

Mereka juga bertanya Ranu melanjutkan sekolah di SMP mana? Ranu hanya bisa terdiam dengan hati perih. Dan keesokan paginya ketika teman-teman sekolah Ranu berada di sekolah barunya masing-masing, Ranu ditemukan tergeletak dengan mulut berbusa dan sudah tak bernyawa.

Di sampingnya terdapat secarik kertas berisi tulisan: BETAPA SAKITNYA JIKA MEMILIKI MIMPI DAN KETIKA SEDANG SEMANGAT-SEMANGATNYA BERUSAHA MERAIH MIMPI TERSEBUT, MIMPI ITU HARUS TERAMPUTASI! ***

Lihat juga...