Kue Tart Terenak
CERPEN LINGGAR RIMBAWATI
Nyonya Ida berwajah muram pagi ini. Gerak-geriknya tampak gelisah. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik dari tempatnya di meja kasir ke bagian displai dan bagian produksi di belakang.
Toko rotinya tidaklah besar, sehingga pergerakannya itu cukup menarik perhatian dua karyawannya yang berjaga di bagian displai. Gadis-gadis itu saling melirik untuk melempar tanya, “Dia kenapa lagi?”
Duduk di singgasananya di belakang meja kasir, Nyonya Ida membolak-balik surat kabar terbitan kemarin. Meski tidak buta cara menggunakan ponsel pintar dan dapat membaca berita teraktual di benda pipih itu, wanita yang akan berulang tahun keenam puluh tiga bulan depan itu masih setia membaca koran cetak.
“Kalau semua baca berita di hape, siapa yang akan melarisi kios Mang Soleh? Biar begitu dia selalu beli kue di toko Mama sepekan sekali, lho,” begitu alasannya ketika anak laki-laki semata wayangnya protes.
Toko roti Nyonya Ida dan kios koran milik Mang Soleh barangkali sama tuanya. Dua tempat usaha itu dibangun sejak anak-anak mereka masih kecil dan masih bertahan hingga kini. Hingga anak-anak itu dewasa dan menikah serta memberi mereka cucu. Hingga waktu bergulir dan pelanggan datang-pergi.
Nyonya Ida memulai usaha toko rotinya bersama mendiang suaminya. Bukan keputusan yang salah jika suaminya membeli ruko di kawasan Pasar Atas yang cukup strategis.
Ruko itu dibeli dari penjualan harta terakhir yang bisa mereka selamatkan dari kebangkrutan sebagai dampak dari guncangan ekonomi pada 1998. Kalau saja Koh Han tidak gulung tikar, barangkali Nyonya Ida akan mewarisi puluhan ruko dan hidup makmur di Jakarta.