Kue Tart Terenak

CERPEN LINGGAR RIMBAWATI

Setelah menjual semua asetnya di ibu kota dengan harga di bawah standar, Koh Han membawa keluarganya pindah ke kota Jambi. Seorang rekan bisnislah yang menyarankannya untuk pindah ke kota itu.

“Kota itu memang sepi, tetapi juga tak rentan terhadap kerusuhan. Minoritas seperti kalian akan cukup aman di sana. Kau hanya perlu waspada dengan harimaunya. Ah, tetapi macan tidak akan singgah ke kota, bukan?”

Pertimbangan lain adalah Nyonya Ida punya saudara jauh di daerah The Hok, kawasan pecinan dekat bandara. Kepada saudara itulah mereka menumpang setelah lelah berhari-hari menempuh perjalanan darat.

Di awal-awal mereka pindah, Koh Han sering membantu saudaranya itu mengirim barang ke daerah-daerah. Suatu saat laki-laki itu ditugasi mengirim barang ke daerah Bungo, sebuah distrik kecil di bagian barat dan memutuskan begitu saja untuk memulai usaha di kota kecil ini.

“Apa dunia benar-benar akan mengalami perang lagi?” Keluh Nyonya Ida sambil melipat surat kabar dan meletakkannya di sisi mesin kasir.

“Perangnya kan jauh, Oma Ida. Nggak akan sampai ke negara kita. Semoga, sih,” timpal Hani, seorang ibu muda yang rutin membeli kue untuk bekal anaknya sekolah. Perempuan yang berprofesi sebagai teller sebuah bank itu sedang memilih-milih kue dibantu oleh salah seorang karyawan.

“Eh, Hani. Pagi sekali sudah beli kue. Hai, Cia. Cantik sekali…”

Hani tersenyum, “Cia, say hi sama Oma.”

Gadis kecil dengan rok tutu itu melambaikan tangan malu-malu.

“Yang sedang perang memang negara lain, Han. Negara di belahan benua lain. Tapi efeknya sampai sini, lho,” Nyonya Ida mengambil jeda sambil menunjuk koran di meja.

Lihat juga...