Kue Tart Terenak

CERPEN LINGGAR RIMBAWATI

Pada bagian luar, krim gula tebal melapisi seluruh permukaan bolu dan bagian atas dihias dengan coklat serta ceri merah. Nyonya Ida menjualnya dalam bentuk potongan-potongan berbentuk persegi empat.

Di usia senjanya kini, Nyonya Ida masih membuat kue tart itu dengan tangannya sendiri dan tak membiarkan karyawan menggantikan atau bahkan membantunya. Dulu, kue tart buatannya sempat menjadi idola anak-anak sampai kemudian kue-kue lain menggesernya.

Hani adalah salah satu dari anak-anak yang mendamba kue tart itu. Rumah gadis kecil sepuluh tahun itu jauh di pelosok desa, di daerah transmigrasi. Jalan menuju desa itu berlika-liku dan tak beraspal sepenuhnya.

Butuh waktu dua jam dengan kendaraan umum untuk sampai ke sana. Di desa seterpencil itu jelas tidak ada toko yang menjual kue tart.

“Buk, besok kalau Hani ulang tahun, belikan kue seperti ini, ya?” Pinta Hani sambil menunjukkan gambar kue tart berlilin di sebuah majalah anak-anak.

“Nggak ada orang jual kue seperti itu di sini, Han. Ibu bikinkan nasi kuning saja, ya?”

“Di Bungo ada, Buk. Di toko roti dekat bank.”

Beberapa waktu yang lalu, Hani memang ikut kedua orang tuanya bepergian ke kota untuk mengajukan permohonan pinjaman ke bank. Usaha tempe milik keluarganya membutuhkan tambahan modal. Mereka mampir ke toko kue di samping bank untuk membeli sedikit oleh-oleh.

Hani kecil melihat kue tart itu dari balik kaca etalase. Tetapi, dia tidak berani meminta. Kue secantik itu pasti harganya tak terbayangkan.

Namun, hari ini adalah hari istimewa buat Hani. Sebelas tahun yang lalu, tepat di hari ini, dia dilahirkan ke dunia. Karena itulah, dia boleh mendapatkan kue ulang tahunnya.

Lihat juga...