Telah semingguan hujan tak turun, tanah di hutan menjadi lembab, jamur-jamur tumbuh subur. Ketiga pemuda di kecamatan setempat sepakat akan mencari jamur bulan — bila mendapatkan cukup banyak akan dijual di tepi jalan raya, tetapi bila sedikit akan dimasak saja untuk kebutuhan sendiri.
Namun, di pagi hari perjanjian untuk bertemu itu, Dani tertinggal. Maka dengan terburu-buru Dani menyusul, mengendarai motor cukup mengebut.
Mulanya, melewati jalanan beraspal lengang datar, di kiri kanannya hamparan tanaman coklat. Kemudian melalui jalanan yang menanjak dan berliku, di kiri kanannya tegakan jati dan mahoni. Hingga akhirnya, tibalah pula Dani di pinggir hutan. Untuk dapat bertemu dengan kedua temannya, harus lebih masuk lagi ke dalam hutan.
Di jalan setapak, rerumputan dan pohon-pohon tampak menyambut dingin — suasana mulai terasa sepi. Semakin jauh, sunyi senyap semakin terasa, bahkan di hati Dani mulai timbul was-was. Bagaimana kalau dengan tiba-tiba saja hewan-hewan buas mendadak keluar dari sarang untuk mencari makanan? Namun Dani abai.
Kedua temannya tadi malam berpesan bila terlambat, akan menunggu di dalam hutan, di bawah satu-satunya pohon asam yang dilingkupi tumbuhan menjalar—sebagai pintu masuk tegakan mahoni.
Setelah sekira satu jam lebih menyusuri, Dani temukan pula keberadaan tempat kedua temannya menunggu. Di sini, tegakan-tegakan mahoni tinggi besar berjejer. Mereka bertiga lalu membungkuk, mulai mencari jamur bulan di sekitar. Danilah yang pertama kali menemukannya, terselip di bawah serimbun semak belukar. Kedua temannya memujinya.
Bertiga, kemudian terus mencari dengan berjalan seraya merebahkan rerumputan di antara tegakan mahoni.
Ketika sinar matahari makin meninggi, belum banyak jamur bulan yang didapatkan, tiba-tiba Dani teringat bahwa nanti sore ada kepentingan, maka pamitlah Dani.