Kedua temannya meskipun berat hati, tetap memberi izin dengan berpesan agar berhati-hati —khawatir karena Dani tetangga baru yang datang dari kota lain, baru pertama kali pula masuk ke hutan ini.
Jalan setapak yang tadi disusuri, kembali dipijak Dani. Tetapi entahlah, setelah melangkah sejauh beberapa puluh meter, ada keraguan di hatinya. Benarkah ini jalan setapak tadi yang menuju arah tepi hutan? Tetapi kenapa sekarang pohon asam itu tidak terlihat? Akhirnya Dani kembali berbalik.
Ah, tetapi tetap saja pohon asam itu tak ditemukan. Dani membatin.
Baiklah, memang di depan ada satu pertigaan, kali ini aku akan mencoba ke arah kanan. Dani terus berjalan, tidak tahu sudah seberapa jauh, hanya rimbunan ilalang setinggi perut yang terus terlihat di kiri-kanan jalan setapak.
Konturnya juga sekarang menurun, bukankah ketika tadi saat ke sini konturnya relatif datar? Dani lalu mendongak ke bawah, membuatnya sungguh kaget — tampak aliran Sungai Citarum yang terlihat kecil karena dalam. Dani kembali membatin. Oh, rupanya aku tetap salah jalan. Aku akan kembali berbalik arah.
Tetapi, di jalan setapak yang kini dipijak, sepertinya ini bukan yang tadi, keadaan sungguh asing. Dani pun mulai yakin telah tersesat! Dani mulai panik.
Dengan hati kalut dan pikiran berkecamuk, terus saja melangkah di jalan setapak ini dengan penuh harap dapat kembali ke arah jalan pulang. Di bawah sebatang pohon kluwih yang sedang berbuah, dilihatnya jam di hp jadul, tertera menjelang pukul 12.00. Berarti? Ini sudah hampir dua jam lebih hilir-mudik. Dani kembali membatin, aku masih saja di sini berputar-putar.
Lelah pun mulai menghinggapi. Untuk menghemat tenaga seraya berpikir mencari solusi, Dani memilih beristirahat dahulu, duduk di atas rerumputan.