Tembakau Terakhir

CERPEN NURILLAH ACHMAD

Napas Matrawi seakan terburai saat memetik daun tembakau. Amarahnya melingkar lekat seakan-akan tiada yang lebih pekat dari apa yang dirasakannya sekarang.

Bekas hitam di tangan yang berasal dari getah batang, didapatinya sebagai bidikan beribu peluru. Bahkan seekor elang yang berputar-putar rendah di atas gumuk tak lagi jadi pemandangan apik.

Manakala sang elang menukik tajam, menyerang, mencabik-cabik seekor tupai lantas lumpuh dalam cengkeraman, Matrawi hanya menoleh sesaat. Ia tak lagi menyeringai seperti biasa ketika penguasa angkasa itu mengepakkan sayap lebar-lebar, dan menjauhi pandang.

Berada di tengah-tengah hamparan tembakau begini, Matrawi membentangkan kelabu hidup dengan memilih daun tembakau yang hendak dipetik. Bila daun dirasa membusuk, ia tanggalkan.

Biar Siti, istrinya, yang berada tak jauh darinya mengumpulkan daun semacam itu. Ia hanya memilih daun yang dirasa laku di pasar kendati harga kian terjungkal. Entah pada petikan ke berapa, lamat-lamat ia mendengar suara menyayat kalbu.

Ketika menoleh ke belakang, ternyata Siti bersimpuh di sela-sela batang tembakau. Tangisnya tumpah ruah dan terdengar menyerah. Lekas-lekas Matrawi menaruh daun tembakau yang telah dipetik ke atas tanah, lalu berjalan di antara pematang menghampiri istrinya.

Sialnya, saat berusaha membujuk, justru Siti menepis lengan Matrawi. Jemari perempuan itu menuding tiga perempat daun tembakau yang belum terjamah sebagai biang keladi.

Suaranya tersendat-sendat menyebut utang modal puluhan juta. Perempuan itu juga tersedu saat mempertanyakan harga yang merosot tajam di pasar, sebab banyak gudang tak membeli dengan dalih harga pasar tak memungkinkan.

Lihat juga...