“Bujang menyerang seorang pemuda. Sekarang ia diburu.”
“Kalian turun bukit? Bukankah sudah kuperintahkan jangan keluar, kecuali malam hari?!”
“Kami hendak balas dendam atas nama persaudaraan. Bagaimana mungkin kami berdiam diri melihat ayah-ibu anak ini mati sedangkan ia masih bayi?”
Aku tak menyahut. Istriku yang muncul dari balik pintu mengernyitkan dahi. Sebelum berkata, aku serahkan anak Anoman yang masih sesegukan itu.
“Susuilah ia sebagaimana kau menyusui Bujang, anak kita.”
Istriku hendak bertanya lebih jauh, tapi aku keburu pergi. Menyusuri batang pohon munyit, aku amati ayunan pohon di sekitar. Tampak batang waru sebelah selatan bergoyang.
Aku berteriak memanggil Bujang. Anak itu membalas. Aku bersyukur anakku masih hidup. Aku meloncat ke arah timur agar Bujang mendengar dan mengamati suaraku.
Kami saling berbalas panggilan dengan mata awas. Aku lihat beberapa orang membawa parang bergerak di bukit bawah sebelah barat. Aku terus teriak memanggil Bujang memastikan anak itu selamat. Dan benar anak itu tiba dengan napas tersengal-sengal.
Aku memintanya cepat-cepat bergelayut pada batang trembesi, lalu menyusup pada balik batu besar yang terhubung pada pintu gua.
Mulanya aku mengumpat setelah tiba di dasar gua. Tapi mendapati anak Anoman terlelap dalam ayunan lengan istriku, bisaku menatap garang si Bujang.
Anak itu tertunduk layu serupa lesu batang tercerabut dari akar. Agak lama aku menahan amarah sampai akhirnya Bujang memberanikan diri mendongakkan kepala.
“Baiknya kita tak lagi tinggal di sini, Pak. Tempat ini tak lagi aman.”
“Matinya ayah dan ibu bayi ini bukan alasan membangkang nenek moyang. Kau tak perlu bersikap sok pahlawan mengatasnamakan dendam.”