“Nenek moyang hidup pada zaman lampau, Pak. Bukan sekarang.”
“Sejak Tuhan menciptakan Adam, kami para binatang beserta alam telah pasrah dijarah manusia.”
“Pak,” lirih suara Bujang mengingatkanku pada tangis istri yang tadi siang meminta meninggalkan Paluombo. “Orang-orang tak lagi memegang senapan. Mereka memikul mesin sangat besar ke arah selatan, dan itu tak cuma satu.”
***
Kerumunan orang di rumah Samhadi tampak seperti merayakan hajat. Sesekali mereka mengajukan tanya akan makanan di penjara atau bagaimana ukuran sel di dalam sana.
Samhadi tertawa mendapati antusias tetangganya. Ia tak menyangka akan didatangi banyak tamu, mengingat lima belas tahun mendekam di penjara, tentu stigma buruk terus melekat.
Gelak tawa serta celoteh pertanyaan geli begitu meramaikan suasana. Namun, ini tak berlangsung lama. Tamu-tamu mendadak terdiam. Satu per satu pamit pulang kala Matrawi berdiri di pintu mengucap salam. Perubahan yang terasa mencolok ini mengundang tanya Samhadi.
“Selatan gumuk akan dijadikan kolam renang. Sanur memintaku menjual sawah ke investor sebagai akses jalan pendakian, tapi aku tolak. Padahal semua lelaki yang ikut kumpul, sepakat menjual demi berangkat haji.”
Samhadi, lelaki yang divonis 20 tahun penjara dan mendapat remisi tiap hari raya besar, sehingga menjalani masa hukuman selama 15 tahun itu tak menyahut.
Ia memandang Matrawi, satu-satunya orang yang saban Sabtu tak pernah libur membesuknya selama mendekam di penjara.
Hanya Matrawi yang benar-benar menunjukkan etika persahabatan tanpa pandang batas jeruji. Samhadi paham mengapa Matrawi tak berkenan menjual sawahnya sebagai jalan pendakian, sebab Matrawi mencintai alam peninggalan nenek moyang sejak masih kanak-kanak.