Masa itu, entah dari mana datangnya, banyak kera berkeliaran. Tak satu-dua ekor. Ada puluhan kera yang kerap berjalan di perkampungan tanpa mengganggu manusia.
Mereka leluasa mengelilingi desa. Dan di antara anak kecil yang senang mengamati kera-kera bergelayut di batang mahoni, hanya Matrawi yang berani mencuri jagung orang tuanya untuk diberikan pada binatang ini.
“Aku tak melihat Siti. Sakitkah ia?”
Matrawi tergagap mendapati pertanyaan Samhadi. Ia menutupi kegugupan dengan memungut sebatang rokok. Menyulutnya sebentar. Menghisap sekali lantas menjawab dengan bibir gemetar.
“Semalam ia minggat bersama lelaki dusun sebelah. Ia marah sebab aku tak mau jual sawah. Bisa saja aku membuntuti lantas membunuhnya sebagaimana kau membunuh istrimu yang ketahuan selingkuh.”
“Ya, tapi aku tak berhasil menebas kepala si lelaki karena kabur lebih dulu. Sialnya, aku belum sempat melihat wajahnya karena memakai penutup kepala. Kalau sekarang kau mengantongi alamat selingkuhanmu, mari kita datangi.”
“Tak usah.”
“Kau ini lelaki. Pantang harga diri diinjak begini.”
“Aku hanya ingin mengabdi pada alam, Sam, sebab ia lebih setia daripada manusia.”
***
Dua lelaki yang berada di depan gua tak memedulikan deru mesin yang memekikkan telinga. Keduanya hanya mengamati kulit buah yang berserakan, sebelum akhirnya telinga mereka menangkap baik suara batang pohon di seberang kangai yang bergerak serampangan.
Antar batang pohon itu tampak bergelayut segerombol kera. Sejenak Matrawi tertegun kala seekor kera hitam besar menoleh ke arah ia berdiri. Matrawi melambaikan tangan perpisahan pada binatang yang kerap ia beri pakan saat berada di tepi sawahnya ini.