Menebak Arah Pendulum Dukungan Capres 2024 Bagian 2

Oleh: Abdul Rohman

JAKARTA, Cendana News – Setelah era Presiden BJ Habibie, Pemilu 1999 menghasilkan PDIP pimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai peraih suara terbanyak.

Namun hasil itu tidak melampaui 50 persen + 1 untuk terpilih sebagai presiden melalui kekuatan partainya sendiri, harus koalisi.

Terbentuklah dua kutub kontestán politik. Megawati sebagai peraih suara terbanyak pemilu merasa berhak menjadi presiden.

Kutub lain memandang kemampuannya belum memadai untuk mengendalikan Indonesia yang multikompleks.

Tapi, Pro Mega bersikukuh menginginkan haknya. Cap jempol darah dukungan kepada Megawati muncul di mana-mana.

Sementara kubu lain menggerakkan PAM Swakarsa dari jawara-jawara Banten untuk menandingi massa Pro Mega.

Muncullah poros tengah yang mendorong Gus Dur untuk menjadi presiden.

Megawati dan pendukungnya harus menerima kenyataan sebagai orang kedua dalam kepemimpinan nasional atau jabatan wapres.

Kemunculan Gus Dur merupakan akibat sekaligus jalan keluar dari potensi bentrokan dua kutub politik bangsa pada saat itu.

Di sinilah jasa Gus Dur, menyelamatkan potensi benturan besar dan berkepanjangan antara dua kutub politik. Antara Pro Mega dan lawannya.

Ada sebagian pengamat Kejawen memandang munculnya Gus Dur telah membatalkan Sumpah Sabdo Palon yang direpresentasikan kepada sosok Megawati.

Ramalan itu dipatahkan dan diserobot Gus Dur, kata sebuah cerita.

Baca: Menebak Arah Pendulum Dukungan Capres 2024 Bagian 1

Gus Dur merupakan representasi kaum santri, cerdas, pluralis dan berwawasan luas.

Kelemahannya pada kemampuan manajerial yang rapuh, One Man Show. Tim pemerintahannya mencomot sana-sini yang belum tentu sejalan dengan visi dan misi Gus Dur sendiri.

Lihat juga...