Menebak Arah Pendulum Dukungan Capres 2024 Bagian 4

Oleh: Abdul Rohman

Dua pulau lepas, Indosat sebagai alat pertahanan bangsa juga dijual. Para penjahat BLBI malah diberi Surat Keterangan Lunas. Itu gaya kepemimpinan koboi. Membahayakan bagi bangsa.

PDIP boleh, asal Jokowi Capresnya. Kira-kira begitulah cara pikir rakyat kala itu.

Lawan Jokowi adalah Prabowo. Ia produk elit. Anak dan dibesarkan dari orang kaya. Bukan representasi rakyat banyak.

Prabowo merupakan antitesa dari keinginan rakyat.

Kali ini, presiden harus benar-benar merepresntasikan rakyat. Bukan sebatas jargon pro rakyat yang nyatanya bermain untuk kaumnya sendiri. Kaum ningrat/konglomerat.

Kelemahan lain dari Prabowo adalah dilekati kaum puritan sebagai pendukung garis depan.

Di antara kaum puritan ini terdapat elemen yang disinyalir wahabi. Sementara sisiran terbesar muslim Indonesia antitesa dari wahabi.

Maka, lengkaplah “bad image factor” yang dilekatkan pada Prabowo: sebagai produk kaum elit/ningrat dan pelindung Wahabi.

Sementara bagi warga NU yang punya sisiran massa besar, keberadaan Wahabi lebih bahaya dari PKI.

Dua hal itulah yang mendorong pendulum dukungan rakyat kepada Jokowi.

Ia sebagai representasi rakyat jelata dan ia bukan pelindung Wahabi. Jokowi merupakan antitesa dari kepemimpinan kaum elit, kaya, ningrat yang selama ini dianggap selalu mengecewakan rakyat.

Dalam dua kali pilpres itu, Prabowo, jenderal cerdas, nasionalis dan banyak prestasi itu berada dalam pendulum yang salah.

Ia berhasil ditempatkan dalam pendulum yang berseberangan dengan kebanyakan kemauan masyarakat.

Pemerintahan Jokowi sendiri memang debatable. Ia dianggap dikendalikan oligarki.

Tidak mampu melindungi rakyat dari kejahatan-kejahatan oligarki. Keberhasilan pemerintahannya dianggap sebatas glorifikasi dari satu dua program yang dikesankan sebagai prestasi istimewa.

Lihat juga...