Tak-takan
CERPEN BONI CHANDRA
Aban mengenang sebuah meja di suatu malam. Di meja itu, semuanya menyatu—menyeret segala ingatan ke dalam masa lalu yang telah lumpuh. Di meja itu, Aban memakan nasi dengan terubuk, mengeja Alquran yang telah lusuh, lalu mengajak Wo Kusai bermain tak-takan (soal berupa kalimat atau cerita yang dikemukakan secara samar supaya sukar).
Semula, Wo Kusai akan melipatkan tangannya di atas meja. Lalu secara perlahan, neneknya itu mengangkat telapak tangan sejajar dada, “Ke atas,” sejajar mata, “ke atas,” melewati kepala, “ke atas … Tiba di atas, ia langsung mengunjur (duduk dengan kaki lurus ke depan). Apakah itu?”
Aban tampak berpikir. Berpikir sangat keras. Sesekali, ia mengedip-ngedipkan mata. Kadang menengadah.
“Menyerah,” katanya.
“Pe-tai!” Wo Kusai terkekeh-kekeh seperti seorang bocah yang digelitiki telapak kakinya.
Tapi tidak dengan Aban. “Petai?” Ia mengernyitkan dahi.
“Ya. Petai!” Wo Kusai masih terkekeh saat menerangkan maksud tak-takan yang diberikan. Wajahnya yang berkerut karena usia, caranya bicara, dan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan; memaksa Aban memecah gelak, meski ia, sebenarnya, sudah mengetahui jawaban tak-takan yang diberikan.
Itu tak-takan lawas—yang juga pernah ia dengar dari ibunya, dari uninya, dan dari beberapa kawannya yang gemar bermain tak-takan.
Ia tahu, bahkan bisa menerangkannya walau tak sebaik penjelasan Wo Kusai—tentang biji petai yang ditanam lalu tumbuh, tumbuh, dan tumbuh, yang pada akhirnya akan merangkai biji-biji kecil dalam ikatan buah yang panjang—persis seorang nenek yang menyelonjorkan kakinya menghabiskan petang.
***
Wo Kusai kembali melipatkan tangannya di meja yang sama. Perlahan, dengan wajah serius, ia kembali mengangkat tangannya sejajar dada, “Ke atas,” sejajar mata, “ke atas,” melewati kepala, “ke atas … Tiba di atas, beliau duduk bersila. Apakah itu?”