Konten
CERPEN EKO TRIONO
“Saat ini, satu-satunya hukum yang kupercayai hanyalah hukum gravitasi!” Lelaki muda itu merasa berteriak sekeras toa, tetapi yang di bawah masih tidak mendengarnya dengan jelas.
“Dia bilang apa di atas sana?”
“Tidak tahu. Sasususasusi…”
“Coba kecilkan radio dangdutmu, Wi. Mungkin dia butuh bantuan. Aku akan mendekat biar terdengar jelas.”
Wika mengecilkan radio dangdut sore di pos satpam dan temannya, lelaki gendut yang napasnya pendek-pendek itu, berjalan penuh perhatian ke menara pengawas kereta yang sudah ditinggalkan penggunaannya sejak revolusi diakhiri dengan diskusi, seminar, dan rapat pembangunan nasional.
“Kamu bilang apa tadi?”
Lelaki muda itu tidak mendengar apa yang dikatakan satpam gendut di bawah sana, yang dari atas terlihat ubun kepala dan tangannya bergerak-gerak seperi sirip ikan kembung berbaju putih. Namun, dia mulai berpikir mungkin satpam itu adalah orang yang mau memperhatikannya, sehingga dia mengulangi dengan teriakan yang lebih keras, dengan tangan mencorong, dan tujuannya ke sudut bawah.
“Satu-satunya hukum yang kupercayai hanyalah hukum gravitasi!”
“Apa? Kamu sedang baca puisi?”
“Hukum! Hanya hukum gravitasi yang kupercaya di dunia ini!”
“O, gravitasi? Kamu mau membuktikan hukum gravitasi?”
Wika, yang dari tadi ikut menyimak, berkata dengan alis menyatu dari sisi satpam gendut, “Bukan. Dia mau bunuh diri.”
Satpam gendut menoleh ke Wika.
“Aku yakin,” Wika bicara, “Harusnya dia tahu daripada mati bunuh diri lebih baik mati di tangan yang dicintai.”
“Jangan bercanda, cepat bertindak!” Satpam gendut bergegas ke pos dengan napas pendek-pendek.
Wika mengikuti, “Aku tidak bercanda. Itu ada di lagunya Leo Waldy.”