Sungai Minyak
CERPEN MOCHAMAD BAYU ARI SASMITA
Di dusun B, siapa yang tidak kenal dengan Haji B? Dialah orang yang bertanggung jawab atas mengeruhnya air sungai yang ada di belakang rumah warga dan yang menjadi satu-satunya sumber irigasi persawahan di dusun itu.
Tapi, orang-orang di sana tidak banyak membicarakan hal itu, bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Mereka lebih suka membicarakan kebaikan Haji B yang sering menyumbang masjid dengan nominal yang lumayan besar, membagikan uang lima puluh ribu kepada tamu undangan ketika ada acara tahlil di rumahnya untuk mendoakan mendiang istrinya, dan tidak lupa turut menyumbang sejumlah material untuk pondok pesantren.
Hanya Wak H yang terang-terangan menyatakan sikap permusuhan kepada Haji B dalam setiap geraknya. Wak H hanya orang kecil yang sehari-hari mengolah sawahnya yang tidak seberapa luas.
Di tengah-tengah orang-orang menjual sawahnya kepada orang-orang dari kota yang berencana membangun sebuah perumahan murah untuk generasi milenial yang diisukan tidak sanggup membeli rumah sendiri, Wak H bersikeras menolak untuk menjual sawahnya.
Sawah itu adalah warisan dari bapaknya, bapaknya juga mewarisi itu dari kakeknya yang dengan susah payah membeli sepetak sawah itu dari orang terkaya di dusun berdekade-dekade lalu.
“Kau bodoh, Wak H,” kata salah satu temannya ketika mereka duduk-duduk di warung sambil main gaple. “Mestinya kau jual saja sawah itu. Kau bisa untung banyak. Anakmu ingin kuliah, bukan?” Wak H mengabaikan perkataan temannya itu dan membanting kartu ke tengah-tengah mereka. Dia memenangkan pertandingan itu dan segera pulang ke rumahnya karena sudah begitu mengantuk.