Sungai Minyak
CERPEN MOCHAMAD BAYU ARI SASMITA
Keesokan harinya lagi, setelah Wak H pulang dari sawahnya pada sore hari, Haji B datang seorang diri untuk menemuinya. Wak H yang masih kesal dengan peristiwa kemarin menolak untuk mempersilakan tamu itu duduk di ruang tamunya, dia hanya menyilakannya duduk di teras rumah yang hanya ada sebuah lincak di sana.
“Ada apa, Pak Haji?” tanya Wak H dengan tidak bersemangat.
“Saya ingin meminta maaf untuk yang kemarin.”
“Dengar, Pak Haji. Jangan pikir bahwa karena punya banyak uang, Pak Haji bisa berbuat sesukanya. Tidak semua orang bisa takluk oleh uang. Saya adalah salah satunya.”
Perlakuan kasar seperti itu membuat Haji B geram.
Pada malam di hari berikutnya, Wak H pergi ke sawahnya untuk mengawasi sawahnya. Tikus-tikus sedang merajalela akhir-akhir ini. Mereka binatang yang meresahkan.
Wak H menyorotkan lampu senternya ke setiap titik sawahnya. Saat itulah beberapa orang yang misterius muncul. Wak H dicekik dari belakang dengan sebuah tali tampar.
Wak H berusaha melawan, tetapi dia kesulitan bernapas. Tapi, dia kewalahan. Dia hanya seorang diri sementara musuhnya lebih banyak darinya.
Setelah Wak H kesulitan untuk melawan, beberapa orang misterius itu menyeretnya ke tengah sawah dan menghabisinya di sana.
Wak H tidak bisa mengenali mereka di dalam kegelapan. Yang dia tahu, ada tiga orang yang mengepungnya, memukulkan tinjunya ke wajahnya, dan menyabet sedikit kulit di kakinya dengan celurit.
“Bangsat!” sembur Wak H ketika celurit itu menciptakan garis merah di kulit kakinya.
“Kita akan benar-benar membunuhnya?”
“Dia orang yang suka cari masalah. Kalau tidak kita habisi, dia akan terus merepotkan kita.”