Setidaknya, sudah ada dua belas orang yang datang silih berganti ke rumah Udin. Ia tak sedikit pun merasa kebingungan, seperti sudah tahu jelas akan seperti ini kejadiannya.
Jadi saat ada yang duduk dengan perasaan was-was dan siap memberinya seribu alasan, ia mengangkat tangan, menyerahkan beberapa lembar uang dan berkata, “tidak perlu dikembalikan, ambil saja…” alias tidak perlu dibayar.
Mereka yang datang dengan maksud meminjam uang, beberapa kelihatan bingung, dan beberapa berseru senang. Mensyukuri nikmat, merasa ini sebuah rezeki dengan ingatan Udin yang seringkali tidak punya uang untuk beli rokok, malah dengan sukarela memberi uang yang dimilikinya.
Tapi Udin sepertinya sudah punya alasan yang jelas, tentang mengapa ia harus berbagi dengan lembar-lembar berharga yang ada di tangannya. Dan karena kebaikannya itu, tidak cukup seminggu uang yang banyak itu sudah menghilang dari tangannya.
Pekerjaan Udin sebenarnya hanya kerja serabutan, atau paling tidak berdasar kenyamanan dan keinginan. Kadang ia ke kebun istirinya, membantu memetik cengkeh mertuanya, kadang pun ke sungai di belakang rumahnya menangkap ikan yang cukup beragam. Tapi tidak jarang, ia merasa cukup bosan, dan membuatnya tidur-tiduran di rumah kakaknya.
Setidaknya di sana, ia bisa mendapat makanan gratis tanpa harus bekerja, dan tentu saja kakaknya merasa kalau Udin itu hanya berusaha kabur dari keluarganya sendiri.
Meski begitu, tiga anaknya yang sudah remaja dan dewasa, rupanya tidak merasa kesal pada tingkahnya itu. Entah kenapa? Mungkin karena sayang atau mungkin karena sudah capek mengurusi.
Sebenarnya Udin ini memang punya sifat baik dan ramah, yang membuat orang lain tak bisa membencinya. Ia pun memang jarang menolak permintaan siapa saja, termasuk saat ia diajak untuk menjadi bagian dari pertarungan angka di depan kios jajanan di depan rumah kakaknya.