Neonatus
CERPEN JENIA XAVIERA
Kemarau telah datang. Warga-warga berhamburan mencari air ke tepi-tepi desa seberang. Jaraknya cukup jauh sehingga membutuhkan waktu sekitar 5 atau 6 jam untuk sampai ke desa itu.
Yang sering dilakukan warga saat kemarau adalah berjaga-jaga tiap malamnya. Sebab mencari air di desa itu tidak dilakukan siang hari melainkan saat malam pekat yang telah menidurkan jiwa-jiwa setelah seharian bekerja.
Tak hanya itu, para warga juga membuat rencana dalam gerak yang akan dilakukannya malam hari. Mulai dari langkahnya, wadahnya berapa, sampai menghitung perjalanan panjang yang tak terkira.
Tua dan muda tak ada bedanya. Kecil dan dewasa juga dianggap sama. Dalam keadaan mendesak ini tidak ada toleransi kepada anak-anak yang masih berumur belasan tahun.
Mereka tetap dijatah untuk membawa wadah-wadah kecil berupa galon untuk membawa air. Hal tersebut membuat anak-anak menjadi malas sekolah.
Setiap kali dibangunkan selalu mengeluhkan rasa capek, ngantuk dan lain-lain. Membuat mereka sering bolos sekolah. Anehnya para orangtua tidak pernah memarahi anaknya yang memilih bolos sekolah.
Mereka justru lebih suka jika anaknya ikut bekerja mengambil air saat malam hari dibanding harus sekolah di pagi hari.
Entah, apa yang dipikirkan oleh mereka sehingga anak-anak tidak memiliki cita-cita selain memikirkan agar air selalu ada di dalam rumah. Putus sekolah pun terjadi.
Akibatnya banyak anak-anak menikah di usia dini. Membaca huruf yang tidak terbata-bata tak dapat dikurangi jumlahnya, karena kurangnya minat membaca, apalagi putus sekolah bertambah besar orangnya.
Sulit untuk ditanggulangi apalagi diberikan inspirasi dan berbagai selipan motivasi. Saat siang mereka gunakan untuk pergi ke hutan, mencari kayu bakar untuk memasak.