Neonatus
CERPEN JENIA XAVIERA
Kebanyakan dari mereka menikah saat usianya sudah 15 tahun. Dari pihak orangtua pun tidak merasa keberatan saat anak-anaknya menikah dalam usia yang terbilang cukup dini.
Ajakan Sri tentu diterima oleh Minem. Meski umurnya baru 11 tahun tapi pemikiran mereka layaknya seseorang yang sudah berusia 21 tahun.
Tekanan lingkungan membuat mereka harus dituntut berpikir dewasa dan berbeda. Hal yang pertama mereka lakukan adalah membuat rumah baca untuk anak-anak dan orangtua.
Dalam 24 jam nonstop tidak terbatasi. Menyesuaikan waktu luang mereka. Namun niat baik mereka gagal. Lagi-lagi mereka menganggap hal itu aneh dan tidak masuk di akal. Cercaan, hinaan, akhirnya diterima oleh Sri dan Minem.
“Buang-buang waktu saja,” kata sebagian warga.
“Kegiatan nggak penting,” kata yang lainnya.
Hal baik tidak bisa dianggap baik bagi seseorang yang tidak menyukainya. Tapi bagi yang menyukainya akan dianggap paling unggul bahkan paling maju dari pemikirannya.
Minem dan Sri gagal. Kewalahan menghadapi ucapan-ucapan mereka yang berhamburan. Pernikahan dini tak dapat dicegah.
Buta huruf semakin parah. Anak-anak sering melahirkan bocah. Sangat memungkinkan batin Sri dan Minem goyah.
Para neonatus-neonatus semakin gencar menempati desa. Rengekannya lebih kencang dari bunyi camar di pagi hari.
Segalanya semakin rumit dipahami. Sebelum itikad baik melekat di lumbung hati. Sebuah desa tetap menjelma menjadi rumah yang dihuni ruh-ruh kecil.
Hidup dalam kehancuran mimpi-mimpi yang tidak bisa diwujudkan. Mereka hidup untuk menanggung beban nenek moyang yang telah diwariskan dalam tubuh mereka.
Menolak bukanlah sebuah jawaban. Sekalipun batin mereka tidak menerima keadaan itu. ***