Sirtu Punden
CERPEN RUDI AGUS HARTANTO
Begitu jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, Damar gegas meninggalkan ruang tamu menuju ke hutan desa.
Berbekal senter, jaring bekas karung kentang, dan sarung yang terikat di kepala, pertanda bahwa ia siap menangkap burung sirtu hasil intaiannya. Semua rencana telah ia siapkan secara matang.
Andai tak ada setoran bulanan koperasi yang mengikat, mungkin ia tak memiliki niat mengambil burung penunggu punden itu. Hampir setengah tahun setelah dipecat mandor akibat ulahnya menjual beberapa sak semen, Damar belum mendapat pekerjaan lagi.
Harapannya menjadi buruh tani ketika pulang pun pupus, sebab banyak sawah yang dibiarkan ditumbuhi ilalang. Musim hujan yang diharapkan para pemilik tanah tak kunjung datang.
Pun keinginannya melamar pekerjaan di pabrik, semua bersyarat harus memiliki ijazah. Sekali sekolah, ia hanya sampai kelas empat SD, selebihnya ia habiskan waktu menjadi buruh kasar untuk hidup.
Bersama ibunya Damar tumbuh. Wanita yang ia sayangi itu mati akibat kepanasan ketika mendulang padi sisa panen tetangga. Saat itu usianya baru tiga belas, namun rasa kehilangannya tak berlangsung lama.
Pergaulan bersama bromocorah telah membentuknya menjadi jago banting. Bahkan ketika olok-olok tentang bapak—tak pernah ia ketahui keberadaaanya sejak lahir—menembus kupingnya, ia hanya membalas dengan tawa dan seteguk minuman alkohol murahan. Katanya suatu kali kepada mereka, kegetiran hidup hanya mampu diatasi dengan menciptakan kelenaan diri.
Tetapi seiring berjalannya waktu, penghasilan sebagai preman tak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Penertiban yang dilakukan oleh petugas membuatnya tak berkutik, ditambah tak berartinya lagi keberadaan orang-orang sepertinya di mata para pedagang membuatnya tersingkir dari perputaran uang di pasar.