Sirtu Punden
CERPEN RUDI AGUS HARTANTO
Bekas dupa upacara adat yang masih separuh Damar nyalakan, bau melati menguar di sekitar punden. Ia menyorot ranting pohon beringin. Burung-burung itu sedang nyenyak beristirahat.
Terhitung ada tujuh sirtu yang siap ditangkap. Untuk mengurangi kecurigaan mereka, senter ia matikan. Tersisa suara seret kaki Damar mendekati batang beringin sebesar tiga pelukan orang dewasa. Sesekali kakinya tersandung bebatuan, dan juntaian akar yang rapat ia sibak ke kanan-kiri.
Tali mulai Damar lilitkan ke tubuh. Sebelum memanjat, ia menepuk batang besar itu tiga kali. Bibirnya berkecap pelan merapal sesuatu. Kakinya mulai menapaki pohon yang memayungi punden itu.
Terkadang ia beristirahat sembari melihat ke bawah sudah berapa jauh ia memanjat. Di percabangan batang pertama Damar berhenti menghela napas, ia menikmati suara sinden yang sedang menyanyikan Kebo Giro.
Bila tak sedang dirundung utang, mungkin ia telah berada di barisan terdepan untuk berjoget dan memberi saweran kepada mereka.
Senter kembali ia sorotkan ke arah sirtu yang bertengger, ia hanya perlu memanjat sedikit lagi menuju percabangan berikutnya untuk mengerahkan jaring kentang yang dibawanya.
Terengah-engah ia menapaki pohon beringin itu. Ketika jarak burung sirtu kira-kira tinggal tiga depa angin terasa semakin kencang, lampu perkampungan terlihat jelas dari sudut itu. Tinggal sedikit lagi ia akan mendapatkan unggas buruannya.
Jaring itu mulai ia arahkan ke tempat burung sirtu, sekali kibas Damar mendapatkan sepasang. Ia bungkus dengan sarung yang sebelumnya terikat di kepala itu.
Ia berhenti barang lima menit untuk mengurangi kegaduhan yang terjadi. Sembari pelan-pelan ia mulai berpindah posisi menuju tempat burung sirtu lainnya berada.