Ia masih terbayang pada serpihan tubuh di dalam peti itu. Ia duduk di bawah peti. Samar aroma lilin yang menyala di bawah peti itu masih tersimpan hingga saat ini.
Ia tak percaya onggokan daging tanpa bentuk yang ada di dalam peti itu adalah Rena, kekasihnya. Dua bulan yang lalu ia melamar gadis itu. Sejujurnya ia tak begitu mengenal Rena.
Mereka saling kenal melalui Amin. Rena adalah teman sekantor Dea, pacar Amin. Mereka bertemu secara tak sengaja saat Amin dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu karena tipesnya kambuh. Setelah tampak cocok, mereka pun tak menunggu waktu lama. Ia segera melamar Rena.
Surat dan bekas-berkas rujukan sudah masuk ke KUA dan mereka telah menyiapkan segalanya. Pernikahan digelar dua bulan mendatang. Gedung, katering, undangan, dan baju pengantin telah dipesan.
Satu-satunya yang belum terpenuhi adalah pergi ke toko emas untuk membeli cincin. Mereka sedang berembug waktu untuk pergi ke toko emas bersama-sama.
“Hari Minggu aku tak bisa, ada jadwal gathering di kantor, dilanjut rapat dengan bagian produksi,” kata Rena saat itu. Rena adalah sekretaris perusahaan kayu ternama di kota ini.
Risang bisa mengerti. Ia sendiri tak begitu terburu. Dua bulan waktu yang cukup untuk semua persiapan. Dan lagi, mungkin sama seperti ketika memilih baju pengantin, memilih cincin bisa jadi menghabiskan waktu seharian.
“Bagaimana kalau Sabtu sore?” tanya Rena di seberang.
“Sabtu sore aku ada pertandingan badminton melawan Pak Bos. Ini sudah babak final,” jawab Risang. Bagaimanapun, ia keberatan meninggalkan pertandingan itu. Mereka belum sempat bertemu.
Kini ia menyesali jawaban itu. Itulah kalimat terakhir yang mengurungkan niat pertemuan mereka. Seandainya hari itu mereka bertemu, barangkali ia bisa melihat senyum gadis itu untuk terakhir kalinya.