Hati Risang seketika mendidih. Lelaki itu adalah atasan Rena, dan yang lebih menyakitkan adalah bahwa lelaki itu telah beristri. Lelaki itu merayu-rayu Rena, memujanya dengan rayuan dan sanjungan layaknya lelaki hidung belang.
Rupanya Rena juga menyimpan perasaan yang sama. Beberapa kali Rena mengirim foto pada lelaki itu, foto-foto pribadi yang tak pernah diketahuinya selama ini.
Foto itu belum lama dikirim Rena kepada lelaki itu, bahkan ketika Risang sudah melamarnya. Beberapa kali lelaki itu mengirim foto-foto Rena yang diambil tanpa sengaja oleh lelaki itu. Percakapan panjang mereka pun tersimpan rapi di kotak surat.
Kemarahan Risang meluap. Baginya sedih karena kehilangan seseorang yang sudah mati bukan berarti apa-apa dibanding sedih karena pengkhianatan. Ditutupnya telepon genggam dengan kasar. Ia harus membuat perhitungan dengan lelaki itu.
***
Risang keluar dari kamarnya dengan wajah malas. Empat hari berkabung di dalam kamar, kini wajahnya terlihat mengeras tanpa kesedihan. Ketiga temannya saling berpandangan dan khawatir.
Semalam Risang keluar tanpa pamit dan pagi-pagi ia telah bangun. Yang lebih mencemaskan lagi, ia keluar dari kamar dengan telapak tangan yang terbungkus handuk kecil berisi es batu. Rio, Amin, dan Bakar menatapnya heran.
“Kenapa tanganmu, Bang?” tanya Bakar sambil menyeruput kopi.
Sebagaimana lazimnya anak kos, mereka terbiasa duduk-duduk di pagi hari sebelum berangkat ke tempat kerja masing-masing sambil menyimak lagu-lagu dan berita di radio.
“Nembok” jawabnya pendek. Ia mengambil gelas kecil dan menuang kopi instan. Aroma kopi menguar di udara. Risang mengaduk kopinya sebentar dan membauinya seperti yang biasa dilakukan di iklan-iklan televisi. Ketiga temannya merasa ada yang janggal dengan suasana itu.