Siapa sangka, hari yang semestinya menjadi istimewa ini justru menjadi hari yang begitu mengerikan? Keributan di mana-mana, ketakutan menjadi-jadi. Orang-orang berlarian, teriakan-teriakan histeris membahana.
Angin kencang. Pohonan berderak-derak. Daun-daun tanggal di pelataran. Istighfar melengking di mana-mana. Kursi berhamburan. Tamu-tamu sibuk menyelamatkan diri.
Di pelaminan, bunga-bunga beterbangan sebelum akhirnya berceceran memenuhi lantai. Hiasan dari stereofom di belakang kursi pengantin roboh. Kain tarub berkelebat sekencang angin yang menyapu halaman rumah.
Derak asbes semakin membuat suasana menakutkan. Sementara di dalam rumah, kekacauan makin menjadi. Orang-orang saling pandang. Saling menebak isi pikiran. Juga ketakutan yang tidak bisa disembunyikan dari tatap mata mereka.
Sekar menjerit sekencangnya di pelukan ibunya. Sementara bapaknya menyumpah serapahi hari yang malang itu. Para rewang memilih diam. Memilih beristighfar sebagai satu-satunya hal yang paling bisa dilakukan.
Di pojok ruang tamu, seorang dukun pengantin duduk bersimpuh menghadap ke barat. Mulutnya komat-kamit, seperti sedang merapal mantra. Matanya memejam, dadanya naik turun mengikuti alur napas yang tak karuan.
***
Sekar, seorang gadis cantik dari keluarga terhormat di Desa Kraton akan melangsungkan pernikahan. Tentu, bukan orang sembarang yang berhasil mengambil hatinya. Seorang gadis terpelajar tidak akan begitu saja menerima lamaran laki-laki.
Sudah sekian belas laki-laki yang patah hati, lantaran cintanya ditolak mentah-mentah olehnya. Beberapa bahkan nekat menemui orangtuanya untuk menyampaikan maksud hati melamar si gadis. Semua dari mereka pulang dengan wajah kecut, lantaran Haji Daslam, seorang juragan beras, menolak anaknya dilamar oleh laki-laki dari keluarga yang tidak sekufu dengannya.