2 Oktober 1965 [V], Persentuhan Bung Karno dengan Pak Harto
OLEH NOOR JOHAN NUH * penulis buku dan bergiat di forum Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) Jakarta
2 Oktober 1965 bagian [IV], Pertemuan paling kritis
Persentuhan Bung Karno dengan Pak Harto
Adapun irisan atau persentuhan antara Bung Karno dan Pak Harto terjadi pertama kali saat kelompok Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka merencanakan kudeta yang dikenal dengan nama “Peristiwa 3 Juli 1946”. Rencana kudeta di Republik yang belum genap berusia satu tahun.
Untuk mencegahnya, Presiden Soekarno memerintahkan Komandan Resimen III Letnan Kolonel Soeharto menangkap salah satu pelaku yakni Jenderal Mayor Soedarsono.
Akan tetapi perintah itu ditolak oleh Letnan Kolonel Soeharto karena perintah kepada Komandan Resimen harus melalui Panglima Besar, bukan dari Presiden. Karena penolakan itu, Presiden Soekarno marah besar dan menyebut Letnan Kolonel Soeharto sebagai “Opsir Koppig.” Julukan Opsir Koppig diulang kembali oleh Presiden Soekarno saat menolak usul Laksamana Madya Martadinata yang mengajukan Mayor Jenderal Soeharto menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Sebagai penguasa militer di Yogyakarta, Letnan Kolonel Soeharto menyusun strategi menumpas kudeta tersebut. Jenderal Mayor Soedarsono sebagai Panglima Divisi III adalah atasan Letnan Kolonel Soeharto, dipancing datang ke Istana sementara pasukan pengawal istana sudah siaga. Dengan mudah pasukan pengawal istana menangkap Jenderal Mayor Soedarsono saat ia datang ke istana. Rencana kudeta ini digagalkan tanpa ada letusan senjata, tanpa ada darah yang tumpah.
Apa jadinya jika Letnan Kolonel Soeharto menangkap Jenderal Mayor Soedarsono? Sangat mungkin terjadi pertempuran antara prajurit-prajurit Resimen III dengan prajurit-prajurit Divisi IX dan pasti akan menimbulkan korban dikedua belah pihak.