4 Oktober 1965 [I], Meminta bantuan Ki IPAM KKO-AL

OLEH NOOR JOHAN NUH * penulis buku dan bergiat di forum Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) Jakarta

Berdasarkan perintah dari Panglima Kostrad, malam itu juga,  sudah masuk tanggal 4 Oktober pukul 01.00, Kapten CZI Robertus Soekendar bergerak ke Ancol menemui Kompi Intai Para Amphibi (Ki IPAM), yang diketahui sedang melakukan latihan pendaratan amphibi dalam rangka ulang tahun ABRI yang kedua puluh. Ternyata Ki IPAM sudah tidak ada di Ancol. [1]

Bergegas Soekendar menuju Markas Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) di Jalan Kwitang, sekarang Jalan Prajurit Usman dan Harum.  Dalam situasi yang menegangkan pasca kudeta G30S kemungkinan Ki IPAM konsinyir di sana.

Baca Juga: 2 Oktober 1965 [I], surat Pak Harto kepada Bung Karno

Adapun nama jalan Prajurit Usman dan Prajurit Harun diambil dari nama dua orang  prajurit KKO yang berhasil menyusup ke Singapura dalam rangka Operasi Dwikora. Di sana mereka melakukan sabotase, namun tertangkap ketika akan kembali ke Kalimantan. Di pengadilan Singapura mereka dihukum mati.  Presiden Soeharto mengutus Sekretaris Militer Presiden, Mayor Jenderal Tjokropranolo, untuk meminta pembatalan hukuman mati kepada Perdana Menteri Lee Kwan Yew namun tidak dikabulkan.

Pada waktu Lew Kwan Yew berkunjung ke Jakarta, Presiden Soeharto meminta ia terlebih dahulu ziarah ke makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata, setelah itu baru bertemu Presiden Soeharto di Istana. Permintaan itu dipenuhi. Maka setiba Lew Kwan Yew di Jakarta, dari lapangan udara Halim Perdana Kusuma ia pergi ke Makam Pahlawan Kalibata terlebih dahulu, setelah itu baru menuju  Istana  berjumpa dengan Presiden Soeharto.

Di markas KKO-AL, Kapten Roburtus Soekendar bertemu dengan perwira jaga Kapten KKO Mustaram dan wakilnya Letnan KKO Nispan Sutarto. Letnan KKO Nispan Sutarto adalah  Wakil Komandan Kompi IPAM yang saat itu bertugas sebagai wakil perwira jaga. Disampaikan bahwa kedatangannya atas perintah Panglima Kostrad—meminta bantuan dari Panglima KKO Mayor Jenderal KKO Hartono, yaitu bantuan pasukan IPAM untuk mengevakuasi tujuh jenazah  sesuai konsep kerja sebagai berikut;

  1. Karena jenazah yang akan diangkat tujuh orang, dengan anggapan satu jenazah membutuhkan satu tenaga penyelam, ditambah satu penyelam untuk observasi, maka dibutuhkan delapan orang penyelam.
  2. Diperkirakan sudah sejak tanggal 1 Oktober 1965 jenazah dimasukkan ke dalam sumur dengan suhu yang tinggi, menghadapi kemungkinan jenazah yang sudah rusak, untuk keperluan identifikasi dan visum et repertum dibutuhkan seorang tenaga dokter umum dan seorang dokter gigi.
  3. Kemungkinan cairan dari jenazah sudah beracun, dibutuhkan dua masker dan dua set baju selam.

Setelah Panglima KKO mengijinkan pemakaian tenaga penyelam dari pasukan IPAM sesuai surat perintah Panglima KKO no 512/SP/ KKO/65, tanggal 4 Oktober 1965, dengan catatan,  Kapten Soekendar menindaklanjuti ijin penggunaan pasukan IPAM dari Markas Besar Angkatan Laut (MBAL), dan pengurusan perlengkapan (zat asam, aqualung, masker dan baju selam).

Lihat juga...