4 Oktober 1965 [IV], Andaikan Jenderal Soeharto tidak menumpas kudeta Gerakan 30 September
OLEH NOOR JOHAN NUH * penulis buku dan bergiat di forum Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) Jakarta
Hari itu, Jumat legi 1 Oktober 1965, enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat dibunuh secara biadab oleh gerombolan pemberontak Gerakan 30 September.
Tidak pernah tercatat dalam sejarah dunia—sejak perang zaman Romawi sampai perang di Afghanistan—enam orang jenderal mati dibunuh sekaligus dalam satu malam, namun gerombolan pemberontak G30S/PKI mampu melakukannya. Dibantainya enam jenderal Angkatan Darat dalam satu malam membuat Angkatan Darat seperti tubuh tanpa kepala.
Baca juga: 4 Oktober 1965 [III], Tujuh Jenazah diotopsi di RSPAD
Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal A Yani adalah salah satu jenderal yang dibantai, maka sesuai standing order, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto mengambilalih sementara pimpinan Angkatan. Akan tetapi pada siang hari Presiden Soekarno menyatakan pimpinan Angkatan Darat langsung ditangan Presiden, dan menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker pimpinan Angkatan Darat.
Hari itu 1 Oktober 1965, terjadi dualisme pimpinan Angkatan Darat. Presiden Soekarno dan Mayor Jenderal Soeharto. Apa jadinya jika hari itu Mayor Jenderal Soeharto tidak bertindak menumpas kudeta G30S /PKI?
Keesokan harinya, 2 Oktober 1965, dalam pertemuan Mayor Jenderal Soeharto dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor, masalah dualisme ini membuat Presiden Soekarno marah dan kembali menyebut Mayor Jenderal Soeharto sebagai Opsir Koppig.
Menyikapi kemarahan Presiden Soekarno, Mayor Jenderal Soeharto mengatakan; “Karena Bapak Presiden sudah menetapkan caretaker pimpinan Angkatan Darat, maka Saya serahkan masalah keamanan dan ketertiban kepada pejabat yang ditunjuk.”