Luka Batin Baridin
CERPEN A. DJOYO MULYONO
“Andai saja kau terima cintanya, Din. Pasti kejadiannya tidak akan seperti ini!” ungkap Gemblung, sahabat masa kecilnya menjelaskan.
Air teh setengah dingin di tangannya ditenggak bersama dengan tangan kiri mengambil rebusan ubi yang berada di atas meja tua rumah sahabatnya itu.
“Engkau juga seharusnya sudah mati jika saat itu aku tidak datang memberimu air dan rebusan ubi seperti yang tersedia di meja gubukmu ini.”
“Ingat, Din. tidak ada orang yang mati karena tirakat, yang ada orang mati setelah berbuka yang berlebihan setelah tirakat!”
Pria tambun itu masih saja menjelaskan kekecewaan apa yang telah diperbuat sahabatnya pada malam Jum’at kemarin lalu. Pasalnya, dirinya tidak suka dengan apa yang dilakukan sahabatnya jika sampai membuatnya gila dan mati.
***
Minggu terakhir, Mangsa Manggala sedang berlangsung, curah hujan mulai deras, di mana pohon Asam Jawa mulai menumbuhkan daun-daun mudanya, ulat mulai bermunculan, laron keluar dari liang, serta lempuyang dan temu kunci mulai bertunas. Semua tanda itu seperti mengingatkan para petani untuk mulai menggarap ladang sawahnya kembali.
Pagi menjelang matahari setinggi tombak, Mang Bunawas menagih janjinya kepada seorang pemuda yatim untuk membajak sawah ladang miliknya yang tertunda.
Ia datang dengan hati yang gusar, baginya pemuda miskin sepertinya harus bekerja keras untuk mengubah nasib, tapi jika diamanatkan untuk membajak sawah satu petak saja tidak becus, maka akan alamat tidak akan tercapai semua cita-cita dan kemuliaan pada hatinya agar hidup lebih baik lagi.
Pakaiannya kumal, sarungnya yang melilit di leher tampak kusut tak pernah diganti seumur hidup, di belakangnya tampak rumah gubuk yang sudah tidak karuan pondasinya hendak condong ke kanan atau ke kiri, yang kelak akan tahu bahwa rumahnya sudah hampir roboh lapuk dimakan usia. Baridin seperti tidak bersalah menjawab kesiangan lantaran semalam suntuk dirinya menonton wayang.