Sarjana Lima Juta

CERPEN OKY E. NOORSARI

“Enak kalau jadi Lita, ya? Masih muda, masih encer otaknya!”

“Masih lajang, masih lega pikirannya.”

“Orang tuanya juga kaya. Bisa banget ngongkosi kuliah sampai profesor kalau mau.”

Mau tak mau aku terpancing untuk tersenyum menanggapi seloroh-seloroh menggemaskan itu. Namun entah senyum atau seringai yang terbentuk di wajahku, sebab aku tidak menyukai apa yang kudengar.

Encer otaknya? Memang asap yang keluar dari kepalaku setiap kali harus berpikir keras tak terlihat oleh mereka. Mereka tidak tahu saja bagaimana kram otak yang acap kualami setiap harus mengerjakan makalah, jurnal, dan segala esai itu.

Orang tua kaya? Buatku, itu adalah kutukan. Hidupku tak pernah berjalan wajar seperti orang-orang biasa. Semua serba diukur, dan aku menjalani hidup dengan ukuran orang lain. Ukuran mama papaku, dan orang-orang di sekeliling mereka.

Teman-temanku mengira aku pintar karena selalu bersekolah di tempat favorit, yang terkenal memiliki standar nilai tinggi ketika menerima murid.

Namun hanya aku, mama papaku dan petinggi sekolah saja yang tahu nilai asli kelulusanku. Semua itu ditukar dengan selusin unit komputer terbaru di laboratorium bahasa milik sekolah.

Oh, itu waktu aku masuk SMP. Ketika masuk SMA tentu saja sumbangan orang tuaku juga ikut naik kelas. Tempo hari saat melintas, aku masih melihat kendaraan operasional sekolah itu parkir di halaman sekolah. Sepuluh tahun yang lalu, mobil minibus itu termasuk seri keluaran terbaru.

Sebenarnya aku tahu,yang kami lakukan ini bukanlah perbuatan yang baik. Kami sudah berlaku tidak adil. Kursi yang aku dapat seharusnya milik seorang anak pintar entah siapa yang lebih berhak. Namun aku belajar sejak sangat belia, bahwa keadilan itu menyesuaikan dengan uang yang kita punya.

Lihat juga...