Sementara itu, hujan semakin deras. Aku melihat dan mendengar petir menyambar pohon asam di depan rumahku. Begitu menakutkan. Aku berlari di ke teras. Gumpalan awan hitam menggantung di langit, seolah-olah awan hitam itu seperti bayangan bapak dan ibu.
Bapak mengatakan ibu bunuh diri karena sudah tidak sanggup menjalani hidup dengan penyakit vertigonya yang sewaktu-waktu bisa kumat. Tetapi, aku melihat di pundak ibu ada luka lebam.
Luka di dahinya juga belum kering. Aku sering melihat mereka berdua bertengkar. Kata ibu, bapak main serong dengan janda seberang. Ibu sering diberitahu oleh para tetangga bahwa bapak sering main ke warung janda itu.
Bahkan tidak hanya satu atau dua tetangga yang melihat pengkhianatan bapak, tetapi sudah banyak tetangga yang bilang.
Rumah tangga ibu dan bapak semakin meruncing. Tidak ada lagi ketenteraman. Aku hanya bisa melihat mereka cekcok dan aku tidak tahu cara menghentikannya. Di dalam hatiku, ada perasaan sedih sekaligus kesal.
Awalnya ibu sedikit tidak percaya dengan omongan tetangga. Tetapi telinga ibu seperti dikerumuni lebah karena banyak tetangga yang menggunjing bapak. Bahkan, suatu hari bapak tidak pulang ke rumah kemudian ibu mencarinya. Ternyata bapak di warung itu.
Awalnya ibu bisa memaafkan bapak. Tetapi, bapak mengulangi kesalahannya lagi. Dari situlah keretakan rumah tangga kedua orang tuaku di ujung tanduk. Tetapi tak banyak yang bisa dilakukan ibu.
Ibu sendiri tidak punya sanak keluarga, hidup sebatang kara. Ia tetap bisa bertahan meski itu menyakitkan. Lagi pula, ia ingin mempertahankan rumah tangganya demi aku.
“Tolong hargai aku sebagai perempuan,” ucap ibu sambil menangis. Tetapi hal tidak digubris oleh bapak.